Jumat, 25 Desember 2015

Teringat kata-kata indah yang dia ucapkan pada dunia,

"Salahkah jika aku menggunakan pikiran yang Dia anugerahkan padaku untuk mempertanyakanNya?"

Aku berpikir, dan aku bertanya. Tak perlu kau marah, dan berhingar-bingar pada gerombolan berkopiah.

Aku bertanya, dan jawablah. Sesederhana itu.

Tuhan itu sempurna, kan?

Senin, 21 Desember 2015

Puisi Tengah Malam

Bulan yang terbenam, tersembuyi pada alang-alang
Butiran putih serpihan cahaya yang hancur berantakan
Kemanakah akan bersemayam?

Serupa ide-ide yang tertidur dalam kepala : abstrak
kata-kata tidak pernah mau berkompromi
seperti dasi-dasi yang mencekik mati,

Malam yang sepi, gelap, merintih
Dimensi waktu di mana semua menjadi satu
Puisi yang berantakanpun, menyepi dalam satu kuil

Dupa-dupa dalam kuil,
menyembah Ganesha..
Seekor elang putih yang menyembah

Rabu, 04 November 2015

Dari Penjaga Cahaya

Anak kecil berlarian di savana
Bertelanjang raga tanpa sungkan
Benar-benar indah
Hingga rasa iri membuncah di dada

Suara anak kecil berkelakar
Tanpa peduli matahari membakar
Sekujur tubuh terpanggang
Hanya barisan gigi yang tampak terang berhias bersama senyumnya

Sepasang anak kecil,
perempuan dan laki-laki
Bergulingan di atas tanah becek
Bekas siraman penjual es lilin
Berpeluh tanah, mereka tak hirau

Kenapa?
Kenapa kita bisa kehilangan itu semua?

Mereka dengan tubuh kecilnya
Mencerna dunia dengan kepolosan
Hitam putih dan kuning biru

Ibu mereka berlari mengejar
Melarang noda di pakaian mereka
alasan logis untuk menghemat sabun cuci di rumah

Anak kecil yang bermain dengan senja
Membuat kenangan dalam keletihan hari
Memaknai warna jingga dengan berlari
Mereka, anak-anak langit.
Cahaya esok hari

D'Journal page 3

Kota Udang, 4 November 2015

Sejak kecil, aku punya kebiasaan buruk, yaitu mudah bosan. Aku adalah pembosan yang sangat parah. Kata dokter, sudah stadium empat. Akut banget. Dan kalau lagi kambuh, tingkat kemalasanku bisa mengalahkan koala. Serius.

Pernah suatu hari, saat masih kelas 3 SD, beberapa minggu menjelang UTS, penyakit bosan ku kambuh. Akibatnya, aku merengek pada Mama untuk dibiarkan bolos sekolah selama satu minggu.

Karena bagi Mamaku gak ada yg lebih penting daripada kebahagiaan anak bungsunya, maka didatangilah dokter langganan keluarga saat itu, yaitu dokter Dewi. Keluargaku sering banget berobat ke dokter Dewi, dan lebih dari itu, ikatan diantara kami udah kayak saudara sendiri. Orangnya asik dan ramah. Jadilah, dengan sekotak kue bolu coklat favorit Dokter Dewi dan selembar amplop, ditambahi bumbu persaudaraan, surat rekomendasi untuk beristirahat selama seminggu berhasil kudapat. Saat itu, memang relatif mudah dapat surat2 semacam itu secara ilegal. Hehehe

Penyakit bosan itu semakin lama semakin meradang saat aku tumbuh dewasa. Waktu SMP, aku gabung dengan eskul PMR. Alasannya simpel, aku cuma pingin dapet slayer biru gelap berhias pinggiran kuning emas dengan lambang palang merah di leherku. Bonusnya, bisa bolos upacara waktu males.

Cewek? Waktu itu belum kepikiran. Maklum, belum akil baliq.

Aku bertahan cuma satu tahun. Tahun kedua, aku mulai ogah-ogahan ikut latihan mingguan. Udah jadi senior, tapi malah tambah males. Alhasil, sedikit junior yg kenal denganku. Pas-pasan di koridor  pun hanya disapa dengan angin bertiup (baca:lewat aja) Yaaa..biarlah

SMA, aku kembali ikut PMR. Kali ini dengan tujuan mulia : mengakhiri masa jomblo.
Sayangnya, sekali lagi, aku cuma bertahan 1 tahun lebih 2 bulan. Tepat setelah Probo, salah satu sahabatku saat kelas 10, pindah ke SMA di surabaya, aku kehilangan mint di organisasi. Ditambah lagi, Adit, sahabatku yg lain juga mulai jarang muncul di PMR. Rasanya waktu itu udah gak ada lagi yg perlu aku lakuin di PMR, dan aku pun mulai sering bolos.

Saat kuliah, semuanya masih tetap sama. Aku sekarang masih resmi menjabat sebagai manajer HRD di sebuah organisasi kajian ekonomi syariah di fakultas, sekaligus ketua koperasi jurusan. Tapi keduanya, hanya bertahan kurang dari satu tahun. Kebosanku dtang lebih cepat dari sebelum-sebelumnya, dan bahkan kini jauh lebih parah. Aku sebisa mungkin, menghindar dari dari jadwal rapat atau sekedar kumpul. Aku bahkan tidak hadir di acara2 organisasi, dan menolak jadwal kajian.

Kosekuensinya, aku banyak digunjingkan oleh teman2 kampus. Aku tidak tahu bagaimana harus merespon. Rasanya, jelas tidak enak sama sekali. Aku menghindari pertemuan dengan teman2 di organisasi karena masih ada rasa bersalah. Namun, tetap saja, bagaimanapun aku memaksa, pikiranku benar-benar menolak dengan keras. Malessssss bangettttt. Sumpah.

Aku memilih pasrah. Kalau digunjingkan ya silahkan, toh aku juga salah. Mungkin aku akan mengundurkan diri dari organisasi itu secepatnya.

Apa alasanku malas melakukan semuanya? Sekali lagi, karena bosan. Bosan yang sangat parah. Semua aktifitas itu, rapat, kajian, jadi panitia, dan aktifitas organisasi lainnya, sudah tidak menawan lagi di mataku. Bisa dibilang, gak ada makna di depanku. Kosong. Hampa. Semua tampak sama saja. Bertemu dengan karakter2 berbeda dengan pola tertentu. Mengalami fase yg sama. Merepotkan.

Saat sudah sampai pada tahap kebosanan ini, aku lebih memilih tidur di rumah dan mengurung diri berhari-hari.

"Kedewasaan manusia dilihat dari keikhlasannya melakukan sesuatu untuk orang lain. Sementara orang yang masih melakukan sesuatu berdasar dia suka atau tidak, berarti dia manusia yang masih anak-anak." Kira2 seperti itu quote yg aku baca dari H. Emha Ainun Nadjib. Membacanya, aku sedikit tersentuh. Berarti dalam tubuh yang sudah beranjak pada usia keduapuluh ini, tersimpan jiwa bocah kecil yang suka berkelakar liar.

Buruk? Mungkin. Tapi kurasa aku baik-baik saja dengan jiwa anak kecil dalam tubuhku. Aku tidak cocok dengan tanggung jawab yg mengharuskanku melakukan sesuatu yg tidak menarik. Aku bisa lemas.

Sebaliknya, ada satu kegiatan yg sampai sekarang masih mempan dari penyakit bosan, yaitu membaca.

Hobi simpel yg sudah kulakoni sejak kecil ini merupakan satu dari sedikit hal konsisten dalam hidupku. Komik, novel, buku pelajaran, biografi, agama, filsafat, cerpen, puisi, dan buku bacaan apapun merupakan sasaran baca yg menyenangkan. Semakin lama, ada sesuatu yang mulai kusadari di balik konsistensiku ini. Akhirnya aku tahu, aku sudah jatuh cinta.

Ya. Jatuh cinta. Dengan buku.

Kerennn... waktu menyadarinya, aku memahami makna kekuatan mencintai.

Di kamarku, di setiap sudutnya, tersusun rapi jejeran buku dan komik yang kukoleksi sejak SMA. Beberapa yg tidak mendapat tempat dalam rak ku yang terbatas, menjadi tumpukan tinggi di dekat kasur. 

Setiap hari, aku menghabiskan hari dengan buku2 itu. Kebiasaan ini membawaku pada mimpi untuk bisa mendirikan perusahaan penerbitan dan retail buku raksasa sekelas gramedia. Amieennn....

Kekuatan cinta berhasil menembus tembok tebal yang dibangun oleh penyakit bosanku. Aku terharu saat memikirkannya, sekaligus merasa kotor, karena kemungkinan besar rasa cinta ini telah membuatku jadi fetish terhadap buku.

Aku belajar sesuatu dari perasaan ini. Motivasi terbesar adalah cinta. Kekuatan mencintai cukup kuat untuk mengubah fiksi menjadi realitas. Aku belajar bahwa saat kita memiliki keterbatasan sebesar apapun, perasaan bahagia merupakan faktor utama penentu kesuksesan apa yang kita lakukan. Aku jarang menemukan perasaan bahagia saat melakukan semua kegiatan organisasi, dan aku menemukannya dalam kegiatan membaca dan menulis. Rasanya luar biasa. Rasa yang luar biasa itu yang akan membawa pada hasil yang luar biasa pula.

Mungkin, semua manusia seharusnya bertindak seperti ini. Bergerak dengan rasa bahagia, dan melakukan apa yang benar-benar mampu membuatnya jatuh cinta, bukan dengan tanggung jawab terpaksa.

Selasa, 03 November 2015

Jalan Tengah dan Jalan Pinggir Yang Berlubang

Karena jatah paket bulanan udah keisi, mulai malam ini, akan ada label tulisan baru : "cangkir kopi".

Apaan lagi?

Biasa.... tulisan random yang ditulis sambil menghirup secangkir kopi panas di teras depan rumah.

Bicara kopi, berarti bicara tentang pikiran yang melayang entah kemana, dan diri yang bertransformasi jadi filsuf karbitan. Nah, tulisan-tulisan "cangkir kopi", teman-temanpun akan menemukan bertumpuk-tumpuk tulisan hasil semedi kilat penulis. Sebuah pemikiran random, namun disajikan dengan bahasa tegas serta ringan.
Bicara masalah kepenatan, kebahagiaan, kebingungan, keresahan, dan kedamaian. Di sini, kita tidak bicara hidup, tapi bicara kehidupan.

Well, selamat menikmati!!!

Kenapa memilih jalan tengah, jika jalan pinggir dan berlubang memungkinkan kita berjalan lebih dekat dengan apa yg kita butuhkan?

Di tengah jalan tidak ada warung sate, depot gule, rumah makan padang, bahkan konter pulsa. Di tengah jalan, kau hanya bisa terus berjalan tanpa bisa menikmati apa yg seharusnya bisa dinikmati. Di tengah jalan tidak ada hanya ada garis putih melintang aspal, dan gemuruh riuh kendaraan yg berjubel berebut menjadi terdepan. Dirimu hanya melaju, menjadi yang duluan.
Di dalam arus.

Di pinggir jalan lah, seseorang bisa melihat apa yg seharusnya patut dilihat.

Menjadi pihak resmi dan terdepan memang menyenangkan dan penuh tantangan.  Butuh usaha keras untuk bisa diterima dan dihormati oleh orang2 yg bahkan mungkin lebih tinggi daripada diri kita sendiri. Menjadi yang diakui butuh pengorbanan, dan hasilnya tenti sepadan. Tak heran banyak orang mendambakan.

Tapi menjadi di pinggir bukanlah ide buruk. Menjadi si kecil bukan permasalahan utama, melainkan pemikiran kecil yg jadi masalah.  Berada di pinggir berarti memberikan kesempatan pada si ambisius untuk terus melaju kencang melibas jalan aspal, sekaligus memberikan kesempatan pada diri untuk menikmati hal-hal sederhana namun memiliki nilai penting dalam esensi tujuan kita.
Menjadi terpinggirkan berarti memberi diri kesempatan merasakan lebih dekat dan jelas apa yg benar-benar kita butuhkan.

Tidak ada yang benar atau salah, dan juga tidak ada yang patut dibanggakan dari pilihan masing-masing. Semua kembali pada hasil, mana yang mampu menikmati perjalanannya lebih baik, siapa yg mampu membawa oleh-oleh lebih banyak saat mencapai tujuan.

So, malam ini, ayo kita pikir ulang makna besar dan kecil. Kita pikir ulang makna tengah dan pinggir. Apakah hidup ini berakhir dengan pemilihan itu? Apakah makna hidup ditentukan oleh pilihan itu?

Kurasa semua kembali pada soal: kebutuhan. Apakah aku butuh jalan di tengah dan melaju kencang? Atau aku lebih butuh menikmati pemandangan dengan cara yg kusukai di jalan yg  pinggir dan berlubang?

D'Journal page 2

Kota Udang, 2 November 2015

Seringkali hidup tidak memberi kita banyak pilihan. Keterbatasan pilihan itu disebabkan karena ketidakberdayaan kita sebagai individu dan anggota kelompok masyarakat dalam menangani situasi di sekitar. Ketidakberdayaan tersebut, seringkali pula, disebabkan karena terbatasnya pengetahuan dan informasi kita untuk mengenal atau mengidentifikasi kondisi yang sedang terjadi melalui serangkaian gejalan yang. Sayangnya, tak banyak dari kita yang bisa menalar hingga titik itu. 

Mereka bilang, ketidakberdayaan adalah kelemahan alamiah manusia. Jika begitu adanya, mungkin akan lebih baik jika kita tidak perlu hidup sebagai manusia.

Kelemahan adalah kesalahan karena kita menolak untuk memaksa diri mengetahui lebih jauh tentang sesuatu. Kelemahan adalah akibat dari ketidakberdayaan kita mengalahkan diri kita sendiri.

Hari ini aku bertemu dengan ketua koperasi mahasiswa pusat di universitas yang sudah lama menyimpan konflik organisasi dengan koperasi yang kini aku kelola, koperasi mahasiswa ekonomi pembangunan. Yah... sebenarnya bukan masalah besar. Pilihannya : aku mempertahankan koperasiku sebagai koperasi indenpenden yang bergerak di bawah lindungan HIMA sekedar sebagai tempat pembelajan, atau merelakannya lebur dengan KOPMA. Sekali lagi, sebenarnya bukan masalah besar.

Jika dipikirkan dengan logika, mungkin memang seharusnya aku memilih untuk melebur dengan koperasi pusat, mendapat perlindungan, legalitas, dan tidak usah bersusah payah. Setelah itu, aku tinggal lulus dengan mudah dan tanpa beban tanggung jawab. Sebagai bonus, aku bisa menulis di CV ku sebagai "Ketua perwakilan cabang koperasi mahasiswa UNAIR". Nyaman dan mudah sekali.

Namun, aku memilih menolaknya. Bodoh mungkin. Mengingat banyak kelemahan dan hambatan yang ada di koperasi yang sekarang aku pimpin. Semuanya membuat aku dan tim pengurusku lelah dan putus asa.

Alasannya?
Sederhana saja. Tidak perlu alasan yang terlalu muluk dan idealis karena aku juga bukan tipe idealis sejak dua tahun lalu. Satu alasan utama aku menolaknya : Agar menarik. Egois? mungkin. Tapi bukankah semua hal di dunia ini terjadi karena keegoisan manusia?

Dari keegoisanlah, muncul orang-orang ambisius, lalu dari merekalah, pergerakan tercipta. Segala jargon dan visi diciptakan oleh keegoisan untuk memenuhi keinginan diri.
Menjadi ketua, wakil, atau pejabat organisasi, bagiku tidak lebih dari ajang aktualisasi, yang berarti memanfaatkan wadah kebersamaan untuk memenuhi kepuasan diri. Dari kumpulan keegoisan itulah muncul benturan, dan akhirnya membentuk kompromi yang bertujuan agar keegoisan pribadi itu bisa ditrnasformasikan menjadi keegoisan kelompok.

Semua sama saja.

Lalu, itukah alasanku menolak memilih melebur dengan kopeasi pusat?

Sayangnya, bukan.

Aku melakukannya, karena kurasa hal itu akan menarik. Seperti bertanding melawan raksasa. 

D'Journal page 1




Kota Udang, 1 November 2015
 


Mulai saat ini, aku memulai halaman Journal di blog ini. Isinya, sebagaimana jurnal lainnya, berisi tentang kehidupanku sehari-hari. Halaman tempat menampung tetes-tetes air kehidupan yang masih terus mengalir. Bukan sebuah kehidupan yang terlalu istimewa, kukira, tapi, aku percaya bahwa setiap individu mendapat kiriman paduan hidup melalui setiap helai dedaunan yang jatuh di sungai kehidupannya. Halaman ini, hanyalah sebuah bingkai untuk mengabadikan helai-helai daun tersebut, agar aku tak mudah melupakannya. Kalaupun akhirnya lupa, aku dapat membuka kembali bingkai ini, untuk  memanggil kembali ingatan tersebut, dan membaca ulang paduan kehidupanku.

Oke, hari ini adalah hari Minggu, dan minggu depan, adalah minggu terakhir UTS di fakultasku. Tersisa dua mata kuliah lagi, senin untuk Ekonomi Keuangan Internasional, dan rabu untuk ujian Ekonomi Kependudukan. Keduanya ujian yang cukup mudah, dan sejujurnya, aku merasa tidak perlu banyak belajar untuk kedua mata kuliah ini… Tidak bermaksud sombong, tapi memang sejujurnya aku jarang belajar belajar serius untuk seluruh mata kuliah di fakultasku, dan Alhamdulillah… bisa mendapat hasil yang cukup memuaskan.

Hari Minggu, buatku, adalah hari membaca dan menulis. Setelah bangun dan cuci muka, seperti reflek, aku langsung mengambil buku apa saja yang ada dalam jangkauanku, dan langsung membacanya minimal 50 halaman di teras belakang. Aku memulai kebiasaan ini sejak kuliah. Bukan berarti awalnya aku tidak suka membaca, hanya saja aku tidak disiplin soal hobi ini. Sebelumnya, aku hanya membaca saat aku ingin dan merasa ada waktu(Waktuku sangat sibuk, sebagian besar waktuku habis untuk menamatkan seri-seri game Haverst Moon. Kalau bukan itu, berburu gambar dan video idol group). Biasanya, sekali ada niat buat membaca, apapun, aku akan menghabiskan waku hingga satu buku tersebut bisa langsung tuntas.

Kebiasaanku yang selalu “bayar lunas” dalam membaca itu, berakibat buruk untuk kesehatan fisik. Aku sering mengabaikan kapasitas tubuh, bahkan saat badanku sudah menjerit-jerit lelah karena kelamaan menunduk dan duduk diam dalam waktu yang sangaaat lama, aku tetap steady dengan posisi membaca awalku. Otak dan badanku memang sering berkonflik ria, mungkin kalau dibuat film perang, sekarang sudah mencapai 456 judul. Gak kelar-kelar. Aku hanya merasa pada saat itu, bacaan setebal apapun, harus selesai saat itu juga, karena kalau tidak, aku akan kehilangan minat pada buku itu di masa depan, dan akhirnya hanya mendapat serpihan ilmu dari buku tersebut.  Sayang banget. 

Akhirnya, aku sering mengalami pega-pegal dan sakit di bagian leher. Sebagai tambahan, saat SMA, aku mendapat minus mata yang cukup parah, kedua mataku minus 2, dengan ada silinder di bagian kiri. Heehhhh….  Untuk informasi, sejak SMP, aku sudah divonis(bahasanya…) mengidap buta warna, meskipun bukan buta warna penuh sih, cuma sebagian, untungnya. Aku membayangkan seandainya aku benar-benar buta warna total, pasti aku ogah mengendarai mobil atau motor sendirian. Bisa-bisa mati muda gara-gara nerobos lampu merah terus. Kalau gak mati muda…. Ya minimal jatuh miskin lah gara-gara keseringan ditilang polisi. Hehehe… 

Nah, kebiasaan buruk ini berubah semenjak aku masuk kuliah, dan ketemu seorang senior di kampus yang mengajarkan pola belajar yang benar dan terkendali. Makasih, senpai…. :)

Sejak saat itu, aku mencoba mendisiplinkan diri dan mengubah presepsiku sehingga bisa sekarang aku bisa mendiversifikasi durasi membacaku berdasarkan kapasitas tubuh dan periode waktu yang lebih teratur. Sekarang, aku membaca setiap hari, 7 hari dalam seminggu, namun dengan batasan minimal 50 halaman dan maksimal 80 halaman, yang bisa dipecah lagi pada beberapa buku. Jadi dalam satu hari, aku bisa membaca antara 2-3 buku, dengan banyaknya halaman yang berbeda, tergantung selera. Hasilnya.. ya lumayan progress sih, aku bisa mengontrol kebiasaanku dengan ketersediaan waktu kuliah, sekaligus membaca lebih banyak buku dalam satu hari. Benar-benar bermanfaat buatku. Sekali lagi, makasih banget senpaiiiii….

O ya, khusus hari Minggu, aku mengalokasikan waktu lebih banyak, biasanya antara 2-3 jam, jadi kemungkinan aku bisa membaca lebih banyak, biasanya hingga 200 halaman. Teliti, ya? Ya… aku suka menghitung selisih halaman awal dan halaman akhir aku membaca. Sebuah kebiasaan, sepertinya sejak kecil. Rasanya seperti kalau kita udah ngelewatin banyak hal, dan pada titik tertentu, kita pasti ingin menengok ke belakang untuk melihat seberapa jauh kita melangkah. Ngerti kan? 

Salain membaca, aku punya kesenangan lain. Setiap hari, aku selalu bangun kesiangan, antara jam 9-10, dalam interval itu biasanya aku baru terbangun(Tentu saja saat ndak ada kuliah pagi). Terkadang, interval itu bisa jebol saat malam sebelumnya aku keterusan menontot anime hingga waktu menjelang subuh. Pernah suatu hari, saat aku selesai mendownload dua season anime Working!, aku melalap habis satu season plus 4 episode di sesason selanjutnya, aku berhenti karena aku mendengar suara kran air dihidupkan. 

Ah! Saat itu aku baru sadar, bahwa hari sudah beranjak subuh. Ayahku selalu bangun tepat 5 menit setelah adzan subuh berkumandang. Berarti sekarang udah sekitar jam 04.35! Beberapa detik setelah itu, aku kembal sadar, ada kuliah pagi!! Jam 7 lagi.. Akhh!!!! Boleh bolos gak ya??
Aku buru-buru mematikan laptop, dan menyalakan agenda di HP. 

Pukul 07.00  Ekonomi Perkotaan
( Tugas pengumpulan data PDRB kota-kota di Indonesia)

Sial… ada tugas, mana dosen killer pula. Bolos jelas bukan alternative lagi, karena Mama juga gak bakal ngijinin. Tidur udah jadi sebuah kemustahilan mulai detik itu. Akhirnya, terpaksa aku kembali menyalakan laptop, menyalakan tethering HP, dan mulai ngebut nyari data buat tugas. 

Sayangnya, saat itu pula aku tersadar, paketan internet HP udah habis sejak dua hari lalu.  Download animepun aku terpaksa harus ke warnet dan ambil paket tiga jam. Haduhhh.. Gimana terus ini??

Dalam keterpurukan itulah, kamar pintuku terbuka, dan sosok Mamaku yang anggun luar biasa dengan daster tidur dan rambut acak-acakan muncul. Sedetik dua detik, Mama menatapku seperti layaknya seorang induk kucing hutan yang berusaha keras melindungi anaknya yang terluka dari serangan babi liar.
Lalu, Mamaku bertanya dengan lembut,
“ Gak tidur lagi semalam?”
“ Iya ma….”
“ Dasar goblok….*” Lalu, Mamaku berlalu. Senyap.

 Aku terpekur beberapa saat, menyadari kebenaran kata-kata Mama, sambil terus berpikir mencari jalan keluar. Gak bakal sempat mampir ke warnet 24 jam dekat kampus. Pasti udah mepet, dan butuh banyak waktu. 

Tiba-tiba, sebuah ide brilian terlintas. Memang benar nyata adanya The Power of Kepepet, aku segera membuka kontak, dan menelpon salah seorang teman, Andi,
“Halo, Ndi”
“hmm….” Sepertinya dia masih ngantuk.
“ Maaf ya, ganggu. Bisa minta tolong?”
“Apaan…?”
“ Boleh minta printkan data PDRB kota buat nanti ndak? Aku lagi habis kuota niee.. pliss ya? Ya?”
“ Ho… Hu…hu um…”
“Bisa kan, Ndi?”
“Hmm….”
“NDI!”
“Iya iya, cerewet….”
“ Makasih banget yaaa…..” Telepon kuputus.
Huffttt beres lah. Meskipun sejenak aku merasa antara lega dan hina. Lega karena tugas sudah aman, dan hina karena setelah bertumpuk tumpuk buku yang kubaca, lembar-lembar pengetahuan yang kukumpulkan, aku masih berakhir denga nyontek tugas teman.  Sudahlah.


P.S : Omong2, Andi ternyata benar-benar dalam keadaan setengah sadar. Dia tidak paham yang dia ucapkan atau dengar, dan akibatnya dia tidak mengeprintkan tugas untukku. Jadilah jadi. Keliatannya untuk ujian besok aku harus sedikit serius belajar untuk menjaga nilai….

*= Mamaku adalah orang tua yang sabar dan penyayang pada anak-anaknya. Bahasanya yang agak kasar itu sebenarnya adalah karena kedekatannya dengan anak-anak, sehingga batasan formal seringkali diabaikan… hehehe maafkan ya

Senin, 02 November 2015

Zawsze in Love

Bukit kecil di padang rumput itu
Di sana, aku berlari
Turun di lembah, menuju rumah merpati
saat semilir angin lembut meniup putik-putik musim kemarau
Higga tiba saat mendarat di peraduan

Benar, seperti salam terakhir dari lembayung kala itu
Saat dirimu letih, dan butuh manjaanku
sedikit belai di pipi kananmu
dengan kecupan kecil di bibir mungil itu

sepuluh tahun lalu,
benarkah waktu itu berlalu?
ragaku telah serupa dengan senja yang sama
saat kecupan itu menghangatkan
apakah dia adalah dirimu? perempuan dengan janji?

Sumpah, sumpah, dan janji...
mungkin aku harus kembali
membuka album lapuk di sudut remang
mencari potongan dirimu
untuk merangkainya dengan masa kini

dirimu, yang tetap sama.
 Janji dan masa kini
 Selalu

Minggu, 01 November 2015

1st post D'Journal

Hai semua....

Mulai hari ini, insya Allah aku akan memulai D'Journal. Halaman ini bertujuan untuk menampung potongan-potongan kisah hidup sehari-hari.  Sekedar berbagi agar ada pesan yang bisa tersampikan

Oke, sampai jumpa di tulisan-tulisan selanjutnya

D'journal

Puisiku Yang Hilang



Ada halaman puisiku yang hilang
Sobek dari jurnal kulit coklat muda
Meninggalkan sisa sobekan di ujung atas jilidan jurnal
Hilang, entah bagaimana

Puisiku yang hilang
Entah apa isinya
Tersobek? Atau disobek?
Olehku? Atau seseorang?
Puisi yang tak dapat kuingat, namun meninggakan sisa di jurnal

Aku lupa, atau melupakan.
Entahlah. Aku ingin ingat. Aku menolak lupa pada puisiku
Namun, puisi itu tetap hilang, tetap terlupa.

Mungkin puisi itu hilang karena aku berdosa
Telah menodai aksara dengan semena-mena
Karena aku telah memperkosamu, dan meninggalkanmu
Mungkin itulah, aku berdosa

Ada sobekan kecil di bawah meja yang gelap
Apakah itu dosaku?
Atau orang lain?
Sungguh sulit merupa dosa, apalagi pahala
Mungkin nerakapun terlalu tinggi buatku
Bagaimana jika kubuang saja sobekan kecil itu
Dengan tanganku, lalu kutiup jauh dengan nafasku
Bagaimana jika aku kembali duduk,
Dan menulis puisi yang lebih bagus
Satu lagi puisi yang mungkin terlupa

Labirin



Seperti tiap malam, merenungi detik yang lambat
Memandang cermin, aku berjengit
Wajahku tampak lain.
Berbeda. Saat siang, saat malam.
Aku memandang cermin,

Siapa aku?

Setiap malam, menikmati senyap
Kuhirup udara mengisi otak yang kumuh
Sembari duduk bersila membelakangi rembulan
Aku meraba-raba, mencari cahaya
Ada di mana aku?

Di sudut kamarku, bertumpuk buku-buku
Karl marx, Amartya Sen, John, Shusanku Endo,
Eiji yoshikawa, Haruki Murakami
Beragam nama, beragam judul, beragam kisah
Satu pencarian

Hidup

Manusia mencari Tuhan,
Sedangkan Tuhan tidak pernah sembunyi
Lalu apa yang kucari?
Hidup. Bingung. Tersesat. Mencari.
Aku menutup mukaku,

Mau kemana aku?

Imaji



Kau berada di antara tiga arus
Kota fantasi dan realita
Dengan sudut-sudut kesenangan semalam
Dan tiang-tiang lampu temaram nan remang

Aku adalah sudut kecil di debu khatulistiwa yang gersang
Dunia di mana tujuh warna langit menjadi panggung sepiku
Dari sini, aku melihatmu.
Memujamu,

Aku berlari, berhenti, dan berlari
Bermimpi tentang momen pertamaku
yang terhapus halus oleh hujan lembut di mendung yang perih

Nyatakah hari itu ?
Hari yang selalu kau nyayikan dengan suaramu
Hari yang menjadi koma dalam hidupku.
Hari yang selalu, hanya menjadi koma.

 Hah…Bodohnya aku
Hari sudah siang, dan matahari sudah memanas di puncaknya
Bukankah sekarang saatnya berhenti?

Meski, mencintaimu adalah mencintai seluruh duniaku.

Lelaki Yang Menjadi Dewasa



Setelah melampiaskan hasratku, aku bangun dan duduk menghadap meja belajarku. Sembari menghabiskan sedikit demi sedikit sisa nasi goring mawut peda di depanku, aku merenungi diri sendiri. Pertanyaan besar tentang siapa aku.

Siapa aku?

Sedikit rasa senang sekaligus perasaan sangat malu menggerayangi dadaku. Sedikit senang, karena aku mampu menjalin satu persatu mozaik diriku yang terpencar-pencar. Sangat malu, karena aku baru melakukannya di usia yang hampir menginjak dua puluh tahun, dan dalam keadaan sehabis melakukan itu.
Merangkai kembali, membuat semuanya, tentang diriku, menjadi masuk akal, sekaligus aneh.
Aku mendapati diriku telah berubah drastic, dari SMP hingga SMA. Perubahan yang terjadi tidak searah, namun beralianan., bahkan bertentangan. Seakan-aan ada sebagian diriku yang dijebol dan ditambal, dirombak dan dibangun, atau sekedar dicat ulang.

Segelas Anggur



Aku bertemu sekelompok kecil remaja itu di Swalayan dekat perumahan saat hendak membeli pulsa token listrik. Mereka terdiri dari lima orang, tiga laki-laki dan dua perempuan berjilbab. Tampaknya mereka hendak berangkat mendaki gunung, karena masing-masing mengenakan jaket gunung dan celana mendaki, serta salah seorang dari mereka memanggul tas carrier. Pandanganku tak lepas dari mereka, hingga suara kasir perempuan mengembalikan kesadaranku. Saat aku keluar, aku masih mendapati mereka di tempat parkir, bersiap dengan tiga sepeda motor, dengan dua perempuan itu membonceng di dua teman laki-lakinya, sementara yang membawa tas carrier mengendara sendirian. Saat mereka menghilang, aku kembali ke sepeda motorku. Mamaku masih di sana, bermain dengan handphonenya.
            “ Adek gak dibolehkan naik gunung kan, ya?”
            “ Gak boleh!” Jawab mamaku cepat. Sepertinya Mama sudah menyadari bahwa aku memandangi anak-anak muda itu di tempat parkir swalayan.
            “ Kamu itu.. sudah…” Aku tidak dengar lagi lanjutan omelannya. Aku memang tidak serius dengan kata-kataku. Tidak terbesit dalam benakku untuk benar-benar naik gunung, karena itu aku memilih mengabaikan semua ocehan Mama karena tidak berguna juga mendengar sesuatu yang kita sudah tahu dengan cara yang tidak menyenangkan. Aku hanya mendesah. Bukan karena larangan naik gunung, namun karena kebimbanganku. Aku sama sekalu tidak mengerti apa yang bisa dan harus kulakukan. Aku mendapati diriku benar-benar letih. Rasanya ingin berbaring, tenggelam dalam belaian kasur busa milikku dan menghilang dalam kegelapan. Aku ingin terbangung dan mendapati diriku di tepi pantai yang sunyi, hanya ditemani deburan ombak berbuih-buih putih serta angin yang bertiup kencang di bawah kelembutan sorot rembulan di atas kepalaku. Aku ingin merasakan hangat dan nyamannya berbaring di atas pasir pantai yang halus, merasakan kesunyian yang penuh damai, dan rasa lapang berhadapan dengan horizon tak terbatas yang ditawarkan oleh lautan pekat nan anggun.
            Lalu aku bertemu denganmu, di sana, di tepi pantai yang sama, duduk dengan lutut terlipat, di sebelahku. Aku memandangimu. Wajahmu. Kulit putih bersih dengan hidung mancung itu, bibir tipis yang tersenyum manis, serta sepasang mata jernih dan polos, persis saat terakhir kali aku melihatnya. Rambut hitam sebahu mu berkibar ditiup angin darat di tengah malam gelap. Helai-helai itu menyapu lembut pipi kananmu.

Berakhir di Muara



Seperti biasa, aku tidak bisa berpikir usai melampiaskan birahiku. Aku duduk terpekur menatap langit-langit kamar. Kosong. Putih. Namun, dikepalaku seperti penuh dengan bintang-bintang. Sebongkah perasaan tidak nyaman yang tidak bisa dijelaskan bergejolak dari dadaku. Mendesak bagai lava yang siap keluar dari mulut gunung berapi. Perlahan, perasaan itu naik ke kepalaku. Memenuhi ubun-ubunku. Menghambat aliran darah dan oksigen, menciptakan pening  yang ganjil. Rasanya seperti ada sebuah tangan raksasa yang menarik ujung nyawaku dari kepala, menariknya keluar sedikit, dan memainkanku bak boneka kayu dengan benang.
Dalam setiap dosa, tersimpan dambaan untuk terlahir kembali, begitu yang ditulis oleh Shusaku Endo dalam karyanya Scandal, dan dia benar. Aku menghela nafas panjang dan berat. Seluruh persendianku seperti meleleh. Aku bahkan tidak bisa meggerakkan kedua lenganku sangking lemasnya. Kucoba  memejamkan mata, melupakan semua kejadian ini, melupakan kenistaanku sendiri.
            Selalu begini.

AYAH



Aku tidak pernah bisa dekat dengan ayah. Entah sejak kapan dimulai, tapi kurasa sudah cukup lama aku mendapatkan perasaaan tidak nyaman setiap kali dekat dengan ayah. Saat aku bangun tidur, keluar dari kamar, dan mendapati ayahku di ruang keluarga sedang mononton tv, aku selalu merasa jemu, bahkan sedikit jengah melihat raut wajahnya. Entah kenapa.

Seperti hari ini, Minggu, 31 Oktober, aku terbangun karena silau dan hawa panas yang menyengat. Kesiangan lagi. Aku menatap langit-langit kamarku sejenak. Kupandangi dengan khidmad seakan tergambar lukisan perempuan cantik di sana. Sejurus, sebuah suara yang kukenal terdengar. Suara ayahku.
Ha,,,, ternyata minggu ini juga tidak masuk, desahku. Sudah tiga minggu terakhir ini, ayah tidak lagi berangkat ke kantor setiap sabtu. Proyek tangki sudah selesai dan barang sudah dikirimkan, katanya. Ayah tidak perlu bekerja lembur dan tambahan di hari Sabtu. Padahal aku sudah sangat terbiasa dengan ketidaberadaan ayah. Akhirnya, aku memilih menenggelamkan diri dalam bekapan bantal-guling. Aku benar-benar malas bertatap muka dengannya.

Sebegitu bencikah aku dengan ayahku sendiri? Entahlah. Setelah diingat-ingat lagi, sikapku terhadap ayah mulai berubah semenjak aku tahu kenyataan bahwa ayah hanyalah seorang laki-laki lembek tidak berguna. Kejam? Iya, tentu saja. Hanya anak tak bermoral yang menyebut orang tuanya sendiri tidak berguna. Tapi lebih dari itu, aku tidak bisa menahan pemikiranku ini. Semuanya tampak jelas dan neyata di depanku, betapa tidak bergunanya ayah. Kejadian runtut yang terus menerus pada akhirnya menjelma menjadi alur yang menggiringku serupa kerbau dungu menuju sebuah bukit, dan di balik bukit itu, yang kutemukan hanyalah bangkai-bangkai busuk yang menebar bau dan pemandangan memuakkan.

Sabtu, 31 Oktober 2015

Melaikat Maut yang Lapar

Wajah-wajah runtuh di tepi kelabu
Samar mereka menghantui malamku
Siapa mereka?
Aku tak tahu
Mungkin mereka cuma malaikat kematian
yang sudah kelaparan mencabut nyawaku

Mungkin mereka jengkel,
mendengarku yang plin-plan
merengek kematian saat fajar menjelang
dan memelas kesempatan saat malam tiba
Mere jengkel karena harus terbang dunia-akhirat
Hingga memilih meunggu di sampingku, di luar jendela kamarku.

Waktu memilih membeku
Saat tengah malam, di tengah bulan bergairah
Kubuka tirai jendela kamar
Kusapa mereka yang lelah menunggu,
kutawari mereka minuman
dan sekedar jajanan kecil

"kami hanya ingin nyawamu segera lulus dari raga"
Begitu ujar mereka.
Begitupun diriku, jawabku ramah.
Andai kau bisa bernegoisasi dengan Tuhan
bisakah kau minta ia cabut nyawaku sekarang

Untuk apa bernyawa,
bila pada akhirnya mencari kesempurnaan
sebuah identitas, dan sebuah surga

Untuk apa menjadi manusia,
apabila engkau berusaha berbuat baik untuk kaya
berusaha baik untuk disenangi

Cabutlah nyawaku sekarang,
aku ingin melamar jadi malaikat

Sebuah Tempat Di Mana Langit Memiliki Tujuh Warna

Kuikuti langkahnya. Lelaki cerewet yang bahkan tak kutahu namanya atau kukenal latar belakangnya. Aku bertemu dengannya di dimensi ketiga, dunia di mana langit memiliki tiga warna yang hadir pada waktu yang sama. Orang-orang menyebut dunia ini dengan sebutan, Trina . Semakin  jauh kuikuti langkah setapak lelaki itu, aku semakin sadar, aku sudah jatuh cinta padanya.


Jatuh cinta. Aku. Heh, tidak dapat dipercaya. Aku dilahirkan oleh sesuatu yang disebut Tuhan sebagai makhluk modern dengan alat kelamin laki-laki. Sejak lahir aku adalah seseorang yang oleh sesuatu disebut takdir sebagai laki-laki. Pria. Cowok. Makhluk berdada rata, berjakun, berbahu tegap, dengan janggut, kumis, dan bulu-bulu yang tumbuh sembarangan di sekujur tubuh.  Namun, semenjak aku datang ke dunia ini, aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada sesosok makhuk yang berjenis kelamin sama denganku.

Benarkah?

Selasa, 27 Oktober 2015

Halo semua... :)

Entah kalian peduli atau tidak, tapi bagi yang merasa janggal dengan tatanan blog ini aku minta maaf, karena itu memang unsur kesengajaan.Aku memulai halaman pertama blog ini dengan sebuah puisi sederhana yang kebetulan aku tulis selepas ujian tengah semester di fakultasku. Alasannya... tidak ada. Mungkin itu cuma sebuah residual error yang memang tidak bisa diprediksikan ataupun dikenali.

Oke, dalam tulisan ini, sebenarnya hanylah sebuah perkenalan sederhana yang kurasa cukup untuk merepresentasikan blog yang juga sederhana ini. Aku adalah Raga, bukan nama asliku, namun juga bukan nama palsu. Lebih tepatnya Raga adalah bagian dari namaku, yang banyak orang tidak begitu tahu, sehingga mereka mengira Raga itu bukan namaku, selain orang-orang administrasi publik yang memang berkemptingan mengetahui nama lengkapku.

Blog ini dimulai dengan landasan sederhana, yaitu sebagai wadah kejujuran.

Sulit merancang sebuah keunikan dalam blog ku sendiri, karena itu kubiarkan semua mengalir apa adanya, dengan segala kejujurannya.

Baik, sekian sampai di sini, semoga kalian masih berkenan membaca tulisan-tulisan selanjutnya
;))

Jumat, 23 Oktober 2015

Mengingat. Bagian satu

Aku sudah kehilangan diri
Makna, nafsu, dan candu pada hidup
Begitupun pada mati,
Seiring dengan senja yang menua,
kuhela nafas
Sakit.
Hampa.
Sakit yang begitu hampa.
Seperti sore ini,
aku bertanya pada Tuhan,
seakan aku percaya padanya.
Aku berbicara pada Tuhan,
seakan dia mendengarkanku
Tidak, percaya padaNya
Hanya letih aku mengabaikannya.

Di sudut meja, pojok menyepi di Yeski Cafe
di hadapan sepiring kwetiau panas dan segelas teh hangat
aku berusaha memutar sekrup kepalaku,
seperti Watanabe dalam Nowergian Wood.
Entah sampai kapan,
sekrup ini akan bertahan