Sebuah wadah kejujuran, prespektif, dan harapan manusia yang berusaha mencari Tuhan melalui kemanusiaannya, tanpa melibatkan variabel surga dan neraka
Jumat, 25 Desember 2015
"Salahkah jika aku menggunakan pikiran yang Dia anugerahkan padaku untuk mempertanyakanNya?"
Aku berpikir, dan aku bertanya. Tak perlu kau marah, dan berhingar-bingar pada gerombolan berkopiah.
Aku bertanya, dan jawablah. Sesederhana itu.
Tuhan itu sempurna, kan?
Senin, 21 Desember 2015
Puisi Tengah Malam
Butiran putih serpihan cahaya yang hancur berantakan
Kemanakah akan bersemayam?
Serupa ide-ide yang tertidur dalam kepala : abstrak
kata-kata tidak pernah mau berkompromi
seperti dasi-dasi yang mencekik mati,
Malam yang sepi, gelap, merintih
Dimensi waktu di mana semua menjadi satu
Puisi yang berantakanpun, menyepi dalam satu kuil
Dupa-dupa dalam kuil,
menyembah Ganesha..
Seekor elang putih yang menyembah
Rabu, 04 November 2015
Dari Penjaga Cahaya
Bertelanjang raga tanpa sungkan
Benar-benar indah
Hingga rasa iri membuncah di dada
Tanpa peduli matahari membakar
Sekujur tubuh terpanggang
Hanya barisan gigi yang tampak terang berhias bersama senyumnya
perempuan dan laki-laki
Bergulingan di atas tanah becek
Bekas siraman penjual es lilin
Berpeluh tanah, mereka tak hirau
Kenapa?
Kenapa kita bisa kehilangan itu semua?
Mencerna dunia dengan kepolosan
Hitam putih dan kuning biru
Melarang noda di pakaian mereka
alasan logis untuk menghemat sabun cuci di rumah
Membuat kenangan dalam keletihan hari
Memaknai warna jingga dengan berlari
Mereka, anak-anak langit.
Cahaya esok hari
D'Journal page 3
Kota Udang, 4 November 2015
Sejak kecil, aku punya kebiasaan buruk, yaitu mudah bosan. Aku adalah pembosan yang sangat parah. Kata dokter, sudah stadium empat. Akut banget. Dan kalau lagi kambuh, tingkat kemalasanku bisa mengalahkan koala. Serius.
Pernah suatu hari, saat masih kelas 3 SD, beberapa minggu menjelang UTS, penyakit bosan ku kambuh. Akibatnya, aku merengek pada Mama untuk dibiarkan bolos sekolah selama satu minggu.
Karena bagi Mamaku gak ada yg lebih penting daripada kebahagiaan anak bungsunya, maka didatangilah dokter langganan keluarga saat itu, yaitu dokter Dewi. Keluargaku sering banget berobat ke dokter Dewi, dan lebih dari itu, ikatan diantara kami udah kayak saudara sendiri. Orangnya asik dan ramah. Jadilah, dengan sekotak kue bolu coklat favorit Dokter Dewi dan selembar amplop, ditambahi bumbu persaudaraan, surat rekomendasi untuk beristirahat selama seminggu berhasil kudapat. Saat itu, memang relatif mudah dapat surat2 semacam itu secara ilegal. Hehehe
Penyakit bosan itu semakin lama semakin meradang saat aku tumbuh dewasa. Waktu SMP, aku gabung dengan eskul PMR. Alasannya simpel, aku cuma pingin dapet slayer biru gelap berhias pinggiran kuning emas dengan lambang palang merah di leherku. Bonusnya, bisa bolos upacara waktu males.
Cewek? Waktu itu belum kepikiran. Maklum, belum akil baliq.
Aku bertahan cuma satu tahun. Tahun kedua, aku mulai ogah-ogahan ikut latihan mingguan. Udah jadi senior, tapi malah tambah males. Alhasil, sedikit junior yg kenal denganku. Pas-pasan di koridor pun hanya disapa dengan angin bertiup (baca:lewat aja) Yaaa..biarlah
SMA, aku kembali ikut PMR. Kali ini dengan tujuan mulia : mengakhiri masa jomblo.
Sayangnya, sekali lagi, aku cuma bertahan 1 tahun lebih 2 bulan. Tepat setelah Probo, salah satu sahabatku saat kelas 10, pindah ke SMA di surabaya, aku kehilangan mint di organisasi. Ditambah lagi, Adit, sahabatku yg lain juga mulai jarang muncul di PMR. Rasanya waktu itu udah gak ada lagi yg perlu aku lakuin di PMR, dan aku pun mulai sering bolos.
Saat kuliah, semuanya masih tetap sama. Aku sekarang masih resmi menjabat sebagai manajer HRD di sebuah organisasi kajian ekonomi syariah di fakultas, sekaligus ketua koperasi jurusan. Tapi keduanya, hanya bertahan kurang dari satu tahun. Kebosanku dtang lebih cepat dari sebelum-sebelumnya, dan bahkan kini jauh lebih parah. Aku sebisa mungkin, menghindar dari dari jadwal rapat atau sekedar kumpul. Aku bahkan tidak hadir di acara2 organisasi, dan menolak jadwal kajian.
Kosekuensinya, aku banyak digunjingkan oleh teman2 kampus. Aku tidak tahu bagaimana harus merespon. Rasanya, jelas tidak enak sama sekali. Aku menghindari pertemuan dengan teman2 di organisasi karena masih ada rasa bersalah. Namun, tetap saja, bagaimanapun aku memaksa, pikiranku benar-benar menolak dengan keras. Malessssss bangettttt. Sumpah.
Aku memilih pasrah. Kalau digunjingkan ya silahkan, toh aku juga salah. Mungkin aku akan mengundurkan diri dari organisasi itu secepatnya.
Apa alasanku malas melakukan semuanya? Sekali lagi, karena bosan. Bosan yang sangat parah. Semua aktifitas itu, rapat, kajian, jadi panitia, dan aktifitas organisasi lainnya, sudah tidak menawan lagi di mataku. Bisa dibilang, gak ada makna di depanku. Kosong. Hampa. Semua tampak sama saja. Bertemu dengan karakter2 berbeda dengan pola tertentu. Mengalami fase yg sama. Merepotkan.
Saat sudah sampai pada tahap kebosanan ini, aku lebih memilih tidur di rumah dan mengurung diri berhari-hari.
"Kedewasaan manusia dilihat dari keikhlasannya melakukan sesuatu untuk orang lain. Sementara orang yang masih melakukan sesuatu berdasar dia suka atau tidak, berarti dia manusia yang masih anak-anak." Kira2 seperti itu quote yg aku baca dari H. Emha Ainun Nadjib. Membacanya, aku sedikit tersentuh. Berarti dalam tubuh yang sudah beranjak pada usia keduapuluh ini, tersimpan jiwa bocah kecil yang suka berkelakar liar.
Buruk? Mungkin. Tapi kurasa aku baik-baik saja dengan jiwa anak kecil dalam tubuhku. Aku tidak cocok dengan tanggung jawab yg mengharuskanku melakukan sesuatu yg tidak menarik. Aku bisa lemas.
Sebaliknya, ada satu kegiatan yg sampai sekarang masih mempan dari penyakit bosan, yaitu membaca.
Hobi simpel yg sudah kulakoni sejak kecil ini merupakan satu dari sedikit hal konsisten dalam hidupku. Komik, novel, buku pelajaran, biografi, agama, filsafat, cerpen, puisi, dan buku bacaan apapun merupakan sasaran baca yg menyenangkan. Semakin lama, ada sesuatu yang mulai kusadari di balik konsistensiku ini. Akhirnya aku tahu, aku sudah jatuh cinta.
Ya. Jatuh cinta. Dengan buku.
Kerennn... waktu menyadarinya, aku memahami makna kekuatan mencintai.
Di kamarku, di setiap sudutnya, tersusun rapi jejeran buku dan komik yang kukoleksi sejak SMA. Beberapa yg tidak mendapat tempat dalam rak ku yang terbatas, menjadi tumpukan tinggi di dekat kasur.
Setiap hari, aku menghabiskan hari dengan buku2 itu. Kebiasaan ini membawaku pada mimpi untuk bisa mendirikan perusahaan penerbitan dan retail buku raksasa sekelas gramedia. Amieennn....
Kekuatan cinta berhasil menembus tembok tebal yang dibangun oleh penyakit bosanku. Aku terharu saat memikirkannya, sekaligus merasa kotor, karena kemungkinan besar rasa cinta ini telah membuatku jadi fetish terhadap buku.
Aku belajar sesuatu dari perasaan ini. Motivasi terbesar adalah cinta. Kekuatan mencintai cukup kuat untuk mengubah fiksi menjadi realitas. Aku belajar bahwa saat kita memiliki keterbatasan sebesar apapun, perasaan bahagia merupakan faktor utama penentu kesuksesan apa yang kita lakukan. Aku jarang menemukan perasaan bahagia saat melakukan semua kegiatan organisasi, dan aku menemukannya dalam kegiatan membaca dan menulis. Rasanya luar biasa. Rasa yang luar biasa itu yang akan membawa pada hasil yang luar biasa pula.
Mungkin, semua manusia seharusnya bertindak seperti ini. Bergerak dengan rasa bahagia, dan melakukan apa yang benar-benar mampu membuatnya jatuh cinta, bukan dengan tanggung jawab terpaksa.
Selasa, 03 November 2015
Jalan Tengah dan Jalan Pinggir Yang Berlubang
Karena jatah paket bulanan udah keisi, mulai malam ini, akan ada label tulisan baru : "cangkir kopi".
Apaan lagi?
Biasa.... tulisan random yang ditulis sambil menghirup secangkir kopi panas di teras depan rumah.
Bicara kopi, berarti bicara tentang pikiran yang melayang entah kemana, dan diri yang bertransformasi jadi filsuf karbitan. Nah, tulisan-tulisan "cangkir kopi", teman-temanpun akan menemukan bertumpuk-tumpuk tulisan hasil semedi kilat penulis. Sebuah pemikiran random, namun disajikan dengan bahasa tegas serta ringan.
Bicara masalah kepenatan, kebahagiaan, kebingungan, keresahan, dan kedamaian. Di sini, kita tidak bicara hidup, tapi bicara kehidupan.
Well, selamat menikmati!!!
Kenapa memilih jalan tengah, jika jalan pinggir dan berlubang memungkinkan kita berjalan lebih dekat dengan apa yg kita butuhkan?
Di tengah jalan tidak ada warung sate, depot gule, rumah makan padang, bahkan konter pulsa. Di tengah jalan, kau hanya bisa terus berjalan tanpa bisa menikmati apa yg seharusnya bisa dinikmati. Di tengah jalan tidak ada hanya ada garis putih melintang aspal, dan gemuruh riuh kendaraan yg berjubel berebut menjadi terdepan. Dirimu hanya melaju, menjadi yang duluan.
Di dalam arus.
Di pinggir jalan lah, seseorang bisa melihat apa yg seharusnya patut dilihat.
Menjadi pihak resmi dan terdepan memang menyenangkan dan penuh tantangan. Butuh usaha keras untuk bisa diterima dan dihormati oleh orang2 yg bahkan mungkin lebih tinggi daripada diri kita sendiri. Menjadi yang diakui butuh pengorbanan, dan hasilnya tenti sepadan. Tak heran banyak orang mendambakan.
Tapi menjadi di pinggir bukanlah ide buruk. Menjadi si kecil bukan permasalahan utama, melainkan pemikiran kecil yg jadi masalah. Berada di pinggir berarti memberikan kesempatan pada si ambisius untuk terus melaju kencang melibas jalan aspal, sekaligus memberikan kesempatan pada diri untuk menikmati hal-hal sederhana namun memiliki nilai penting dalam esensi tujuan kita.
Menjadi terpinggirkan berarti memberi diri kesempatan merasakan lebih dekat dan jelas apa yg benar-benar kita butuhkan.
Tidak ada yang benar atau salah, dan juga tidak ada yang patut dibanggakan dari pilihan masing-masing. Semua kembali pada hasil, mana yang mampu menikmati perjalanannya lebih baik, siapa yg mampu membawa oleh-oleh lebih banyak saat mencapai tujuan.
So, malam ini, ayo kita pikir ulang makna besar dan kecil. Kita pikir ulang makna tengah dan pinggir. Apakah hidup ini berakhir dengan pemilihan itu? Apakah makna hidup ditentukan oleh pilihan itu?
Kurasa semua kembali pada soal: kebutuhan. Apakah aku butuh jalan di tengah dan melaju kencang? Atau aku lebih butuh menikmati pemandangan dengan cara yg kusukai di jalan yg pinggir dan berlubang?
D'Journal page 2
Seringkali hidup tidak memberi kita banyak pilihan. Keterbatasan pilihan itu disebabkan karena ketidakberdayaan kita sebagai individu dan anggota kelompok masyarakat dalam menangani situasi di sekitar. Ketidakberdayaan tersebut, seringkali pula, disebabkan karena terbatasnya pengetahuan dan informasi kita untuk mengenal atau mengidentifikasi kondisi yang sedang terjadi melalui serangkaian gejalan yang. Sayangnya, tak banyak dari kita yang bisa menalar hingga titik itu.
Mereka bilang, ketidakberdayaan adalah kelemahan alamiah manusia. Jika begitu adanya, mungkin akan lebih baik jika kita tidak perlu hidup sebagai manusia.
Kelemahan adalah kesalahan karena kita menolak untuk memaksa diri mengetahui lebih jauh tentang sesuatu. Kelemahan adalah akibat dari ketidakberdayaan kita mengalahkan diri kita sendiri.
Hari ini aku bertemu dengan ketua koperasi mahasiswa pusat di universitas yang sudah lama menyimpan konflik organisasi dengan koperasi yang kini aku kelola, koperasi mahasiswa ekonomi pembangunan. Yah... sebenarnya bukan masalah besar. Pilihannya : aku mempertahankan koperasiku sebagai koperasi indenpenden yang bergerak di bawah lindungan HIMA sekedar sebagai tempat pembelajan, atau merelakannya lebur dengan KOPMA. Sekali lagi, sebenarnya bukan masalah besar.
Jika dipikirkan dengan logika, mungkin memang seharusnya aku memilih untuk melebur dengan koperasi pusat, mendapat perlindungan, legalitas, dan tidak usah bersusah payah. Setelah itu, aku tinggal lulus dengan mudah dan tanpa beban tanggung jawab. Sebagai bonus, aku bisa menulis di CV ku sebagai "Ketua perwakilan cabang koperasi mahasiswa UNAIR". Nyaman dan mudah sekali.
Namun, aku memilih menolaknya. Bodoh mungkin. Mengingat banyak kelemahan dan hambatan yang ada di koperasi yang sekarang aku pimpin. Semuanya membuat aku dan tim pengurusku lelah dan putus asa.
Alasannya?
Sederhana saja. Tidak perlu alasan yang terlalu muluk dan idealis karena aku juga bukan tipe idealis sejak dua tahun lalu. Satu alasan utama aku menolaknya : Agar menarik. Egois? mungkin. Tapi bukankah semua hal di dunia ini terjadi karena keegoisan manusia?
Dari keegoisanlah, muncul orang-orang ambisius, lalu dari merekalah, pergerakan tercipta. Segala jargon dan visi diciptakan oleh keegoisan untuk memenuhi keinginan diri.
Menjadi ketua, wakil, atau pejabat organisasi, bagiku tidak lebih dari ajang aktualisasi, yang berarti memanfaatkan wadah kebersamaan untuk memenuhi kepuasan diri. Dari kumpulan keegoisan itulah muncul benturan, dan akhirnya membentuk kompromi yang bertujuan agar keegoisan pribadi itu bisa ditrnasformasikan menjadi keegoisan kelompok.
Semua sama saja.
Lalu, itukah alasanku menolak memilih melebur dengan kopeasi pusat?
Sayangnya, bukan.
Aku melakukannya, karena kurasa hal itu akan menarik. Seperti bertanding melawan raksasa.
D'Journal page 1
Senin, 02 November 2015
Zawsze in Love
Di sana, aku berlari
Turun di lembah, menuju rumah merpati
saat semilir angin lembut meniup putik-putik musim kemarau
Higga tiba saat mendarat di peraduan
Benar, seperti salam terakhir dari lembayung kala itu
Saat dirimu letih, dan butuh manjaanku
sedikit belai di pipi kananmu
dengan kecupan kecil di bibir mungil itu
sepuluh tahun lalu,
benarkah waktu itu berlalu?
ragaku telah serupa dengan senja yang sama
saat kecupan itu menghangatkan
apakah dia adalah dirimu? perempuan dengan janji?
Sumpah, sumpah, dan janji...
mungkin aku harus kembali
membuka album lapuk di sudut remang
mencari potongan dirimu
untuk merangkainya dengan masa kini
dirimu, yang tetap sama.
Janji dan masa kini
Selalu
Minggu, 01 November 2015
1st post D'Journal
Mulai hari ini, insya Allah aku akan memulai D'Journal. Halaman ini bertujuan untuk menampung potongan-potongan kisah hidup sehari-hari. Sekedar berbagi agar ada pesan yang bisa tersampikan
Oke, sampai jumpa di tulisan-tulisan selanjutnya
D'journal
Puisiku Yang Hilang
Labirin
Imaji
Lelaki Yang Menjadi Dewasa
Segelas Anggur
Berakhir di Muara
AYAH
Sabtu, 31 Oktober 2015
Melaikat Maut yang Lapar
Samar mereka menghantui malamku
Siapa mereka?
Aku tak tahu
Mungkin mereka cuma malaikat kematian
yang sudah kelaparan mencabut nyawaku
Mungkin mereka jengkel,
mendengarku yang plin-plan
merengek kematian saat fajar menjelang
dan memelas kesempatan saat malam tiba
Mere jengkel karena harus terbang dunia-akhirat
Hingga memilih meunggu di sampingku, di luar jendela kamarku.
Waktu memilih membeku
Saat tengah malam, di tengah bulan bergairah
Kubuka tirai jendela kamar
Kusapa mereka yang lelah menunggu,
kutawari mereka minuman
dan sekedar jajanan kecil
"kami hanya ingin nyawamu segera lulus dari raga"
Begitu ujar mereka.
Begitupun diriku, jawabku ramah.
Andai kau bisa bernegoisasi dengan Tuhan
bisakah kau minta ia cabut nyawaku sekarang
Untuk apa bernyawa,
bila pada akhirnya mencari kesempurnaan
sebuah identitas, dan sebuah surga
Untuk apa menjadi manusia,
apabila engkau berusaha berbuat baik untuk kaya
berusaha baik untuk disenangi
Cabutlah nyawaku sekarang,
aku ingin melamar jadi malaikat
Sebuah Tempat Di Mana Langit Memiliki Tujuh Warna
Jatuh cinta. Aku. Heh, tidak dapat dipercaya. Aku dilahirkan oleh sesuatu yang disebut Tuhan sebagai makhluk modern dengan alat kelamin laki-laki. Sejak lahir aku adalah seseorang yang oleh sesuatu disebut takdir sebagai laki-laki. Pria. Cowok. Makhluk berdada rata, berjakun, berbahu tegap, dengan janggut, kumis, dan bulu-bulu yang tumbuh sembarangan di sekujur tubuh. Namun, semenjak aku datang ke dunia ini, aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada sesosok makhuk yang berjenis kelamin sama denganku.
Benarkah?
Selasa, 27 Oktober 2015
Entah kalian peduli atau tidak, tapi bagi yang merasa janggal dengan tatanan blog ini aku minta maaf, karena itu memang unsur kesengajaan.Aku memulai halaman pertama blog ini dengan sebuah puisi sederhana yang kebetulan aku tulis selepas ujian tengah semester di fakultasku. Alasannya... tidak ada. Mungkin itu cuma sebuah residual error yang memang tidak bisa diprediksikan ataupun dikenali.
Oke, dalam tulisan ini, sebenarnya hanylah sebuah perkenalan sederhana yang kurasa cukup untuk merepresentasikan blog yang juga sederhana ini. Aku adalah Raga, bukan nama asliku, namun juga bukan nama palsu. Lebih tepatnya Raga adalah bagian dari namaku, yang banyak orang tidak begitu tahu, sehingga mereka mengira Raga itu bukan namaku, selain orang-orang administrasi publik yang memang berkemptingan mengetahui nama lengkapku.
Blog ini dimulai dengan landasan sederhana, yaitu sebagai wadah kejujuran.
Sulit merancang sebuah keunikan dalam blog ku sendiri, karena itu kubiarkan semua mengalir apa adanya, dengan segala kejujurannya.
Baik, sekian sampai di sini, semoga kalian masih berkenan membaca tulisan-tulisan selanjutnya
;))
Jumat, 23 Oktober 2015
Mengingat. Bagian satu
Makna, nafsu, dan candu pada hidup
Begitupun pada mati,
Seiring dengan senja yang menua,
kuhela nafas
Sakit.
Hampa.
Sakit yang begitu hampa.
Seperti sore ini,
aku bertanya pada Tuhan,
seakan aku percaya padanya.
Aku berbicara pada Tuhan,
seakan dia mendengarkanku
Tidak, percaya padaNya
Hanya letih aku mengabaikannya.
Di sudut meja, pojok menyepi di Yeski Cafe
di hadapan sepiring kwetiau panas dan segelas teh hangat
aku berusaha memutar sekrup kepalaku,
seperti Watanabe dalam Nowergian Wood.
Entah sampai kapan,
sekrup ini akan bertahan