Minggu, 01 November 2015

Berakhir di Muara



Seperti biasa, aku tidak bisa berpikir usai melampiaskan birahiku. Aku duduk terpekur menatap langit-langit kamar. Kosong. Putih. Namun, dikepalaku seperti penuh dengan bintang-bintang. Sebongkah perasaan tidak nyaman yang tidak bisa dijelaskan bergejolak dari dadaku. Mendesak bagai lava yang siap keluar dari mulut gunung berapi. Perlahan, perasaan itu naik ke kepalaku. Memenuhi ubun-ubunku. Menghambat aliran darah dan oksigen, menciptakan pening  yang ganjil. Rasanya seperti ada sebuah tangan raksasa yang menarik ujung nyawaku dari kepala, menariknya keluar sedikit, dan memainkanku bak boneka kayu dengan benang.
Dalam setiap dosa, tersimpan dambaan untuk terlahir kembali, begitu yang ditulis oleh Shusaku Endo dalam karyanya Scandal, dan dia benar. Aku menghela nafas panjang dan berat. Seluruh persendianku seperti meleleh. Aku bahkan tidak bisa meggerakkan kedua lenganku sangking lemasnya. Kucoba  memejamkan mata, melupakan semua kejadian ini, melupakan kenistaanku sendiri.
            Selalu begini.

            Saat aku stress, marah, jengkel, kecewa, atau segala hal yang mengacaukan pikiran, aku akan selalu melarikan diri menuju muara nafsu. Saat semua selesai, aku akan menjadi seperti sekarang, berbaring letih karena kehabisan energi, menatap langit-langit kamarku, mencari penjelasan yang tidak kumengerti, dan semakin frustrasi. Bukannya aku tidak muak, namun apapun yang kulakukan, saat sesuatu terjadi, aku akan terhanyutkan oleh emosi, pasrah digiring oleh kumpulan foto dan video tak senonoh, dan akhirnya berakhir di pemuasan nafsu jangka pendek. Terjebak dalam lingkaran maksiat yang kuciptakan sendiri.
            Aku mencoba bangun. Kuangkat kepalaku yang masih sangat berat, mencoba mengembalikan serpih-serpih kesadaran yang tercecer dalam otakku. Masih lemas, pikirku. Susah payah kutahan tubuhku dengan kedua tangan. Menerima beban berat dengan energy yang terkuras sehabis masturbasi, lengan kananku gemetaran.
            Payah.
            Begini sajakah kekuatanku?
            Kepalaku masih pening dan terasa berat. Kuedarkan pandang ke seluruh ruangan kamar. Berukuran 4x5 meter, dengan dinding bercat putih, beralaskan keramik dengan warna kusam. Pandanganku tertuju pada tumpukan buku di seberang ruangan. Kamarku dipenuhi dengan buku, bahkan bisa dibilang hampir mendekati sebuah perpustakaan mini. Terdapat rak-rak dari kayu yang terpasang di dinding dengan ditopang sepasang plat besi di masing-masing ujungnya. Di tiap rak, penuh diisi buku-buku dengan tema yang berbeda-beda. Sejauh yang kuingat ada tentang psikologi, sejarah, budaya kontemporer, ekonomi,  agama, filsafat, novel, komik, hingga politik. Total, seingatku ada sekitar lebih dari 300 buku dalam kamarku. Jumlah yang terhitung besar untuk disimpan dalam kamar berukuran mini seperti ini. Bahkan, banyak buku-buku yang tidak tertampung di rak atau lemari, sehingga menumpuk di sudut kamar.
            Tanganku meraih salah satu buku yang berada di dekatku. Sebuah novel lama yang diterbitkan ulang karya seorang penulis negeri sakura, Haruki Murakami, yang berjudul Norwegian Wood atau Noruwei no Mori. Kubuka kembali halaman terakhir yang kubaca sebelum aku tenggelam dalam arus nafsu yang tidak mampu dibendung. Kutelusuri sejenak barisan kalimat, mencoba mengingat kembali perasaan yang merasuk saat aku membacanya tadi. Dalam beberapa saat, aku kembali tenggelam dalam kalimat-kalimat tersebut, aku kembali menyirami diriku dengan alur cerita tentang seorang pemuda biasa yang kehilangan sesuatu dalam dirinya dan resah atas nasib nelangsanya yang menyukai mantan pacar sahabatnya yang telah mati bunuh diri sewaktu SMA.
            Entah berapa lama waktu terlewat, akhirnya kuletakkan kembali buku itu di samping  kasur. Perlahan, mencoba berdiri dengan kedua tungkaiku yang masih sangat lemas. Aku berjalan pelan keluar kamar. Gelap. Kulirik jam dinding, sudah jam 01.00 malam. Tentu saja.
            Dasar tidak berguna.
            Aku mendesah lagi. Kemudian, aku masuk ke kamar mandi, mencuci muka, buang air, dan mengganti celana dalam yang menimbulkan rasa tidak nyaman itu. Kedua orang tuaku sudah tidur. Tentu saja, apa yang kuharapkan di tengah malam begini. Aku membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin yang selalu ibuku siapkan karena tahu kebiasaanku yang selalu terbangun kehausan di malam hari, dan suka melanjutkan separuh sisa malam dengan membaca.  Meskipun, sampai sekarang aku meragukan apakah ibuku tahu apa penyebabnya. Sambil membawa botol air minum, aku meraih handphone ku yang tergeletak di meja makan, dan mengecek apa ada sesuatu yang terjadi. Benarlah, nafasku tercekat saat aku mengetahui chatting dari kawan lamaku, Reigan, yang masuk pukul 9 malam tadi.
            Innalillahi wa innalillahi rajiun, telah berpulang sahabat kita, Putri, pada Allah SWT pukul 20.14 WIB tadi akibat sakit yang almarhumah derita. Semoga segala almarhumah diterima di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan kesabaran. Amien….
            Ada beberapa kalimat lain yang tertulis, namun aku menolak untuk membacanya lebih lanjut. Putri mati. Sosok gadis bertubuh kecil dan penuh emosi itu kini telah pergi mendahului kami. Mendahuluiku. Sontak, seluruh persendianku kembali lemas, lututku seperti kehilangan energi mendadak dan tak mampu menopang tubuhku lagi. Aku jatuh di kursi meja makan. Aku terpekur memandang kalender gantung bergambar sekelompok pekerja konstruksi yang besikap profesional di depan kamera-kalender perusahaan Ayahku bekerja.
            Apakah ini nyata?
            Apakah dia sudah benar-benar menghilang dari kehidupan ini? Secepat itukah Tuhan menjemput makhluknya? Hanya dalam hitungan beberapa tahun, orang yang aku kenal, yang pernah aku raba dadanya, kucium bibirnya diam-diam saat tertidur, kini telah mati. Tidak bernafas. Hilang. Aku semakin terpekur, dan kembali memandang langit-langit.
            Malam gelap dan pepohonan yang rimbun di tepi jalan, suasana sepi, posisi di sudut, dan lelapnya sebagian besar kawan-kawanku, menimbulkan sesuatu yang mendesak dalam dadaku. Ya, nafsu itu kembali muncul. Aku duduk di sebelah Putri, tepatnya di samping kananya, dekat koridor bis kami. Aku menyelimuti tubuhku dengan jaket kelas kami, beniat megurangi kemungkinan tindakanku terlihat. Setelah semua kurasa sempurana, dengan nafas terengah-engah seperti orang habis berlari, aku melirik pada Putri. Parasnya cantik khas gadis keturunan Bandung, dengan kulit kuning langsat dan mulus, terlihat dari lehernya yang jenjang dan didukung potongan rambutnya yang pendek sebahu. Cantik sekali. Kuamati tubuh mungilnya yan terbungkus kemeja berlengan pendek warna biru bergaris-garis putih. Aneh, aku selalu melihat Putri sebagai gadis kecil yang rapuh. Tubuhnya selalu terlihat datar, dan tidak menggoda. Namun malam ini, dalam bayangan malam pekat dan kesunyian ganjil, tubuh itu terlihat segar, montok, dan menggoda dengan buah dada berukuran pas untuk anak seusia dia.
            Perlahan, kuberanikan tangan kiriku mengelus lembut lengan kanannya. Halus. Halus sekali. Tanganku seperti menyentuh sebuah kain sutera, dapat kurasakan sentuhan bulu-bulu halus yang jarang tumbuh di lengannya. Nafasku semakin berat. Mataku nanar memadangi wajah imutnya. Aku tidak sabar. Aku ingin merengkuh gadis ini, meremas-remas setiap bagiannya, dan menyesapi setiap elemen kehidupan yang menyeruak dari gadis ranum ini. Tanganku semakin bergeriliya. Kuraba pelan dadanya dari balik kemeja. Tak ada reaksi. Dadanya, meskipun berukuran kecil, entah kenapa terasa begitu sesuai. Begitu lembut, kenyal, dan kecang, rasanya seperti tengah membuat adonan kue yang siap dipanggang. Nafsuku semakin tinggi. Ada sebuah gunung yang siap meledak dalam diriku. Remasanku semakin intens, terkadang kuat dan lemah, seakan ingin mempermainkan dada gadis belia itu. Mendadak, dia menggeliat. Sontak aku terkejut dan cepat-cepat berpura-pura tidur dengan membelakangi dia. Degup janutngku menguat. Aku tidak berani berbalik, menunggu reaksi dari Putri.
            Beberapa menit berselang, tidak ada apapun. Hanya tarikan nafasnya yang seperti orang mendengus, namun lama kelamaan berangsur normal dan pelan.Aku tidak tahu apa dia sadar apa tidak, yang pasti dalam pikiranku sekarang, adalah bagaimana berbuat lebih jauh. Pelan-pelan aku berbalik. Sejenak menatap wajahnya yang terlelap, tampak tidak ada gurat marah atau terganggu di wajahnya. Mungkin tadi hanya mengginggau, pikirku. Kubelai pelan pipinya, dan kusentuh pelan bibir atasnya, kutekan-tekan pelan, memastikan reaksi. Sejurus kemudian, kudekatkan wajahku. Perlahan, dan semakin dekat, aku menikmati setiap detik itu, dan semakin menikmatinya, saat kurasakan bibirku menyentuh bibir Putri.
            Lembut, sama seperti ketka tanganku menyentuh dadanya. Hanya saja, kali ini ada sensasi persetuhan kulit, dipadukan dengan lembab yang berasal dari bibir Putri. Entah dari mana, ada rasa manis yang menyusup, meningkatkan semangatku untuk mulai melumat pelan bibir Putri. Entah berapa lama, aku memagut bibir itu, memainkannya, dan membasahinya, dan bahkan mencoba memasukkan lidahku ke dalamnya. Dalam situasi seperti itu, pikiranku semakin kabur. Tanganku mulai bergerak meraih kancing-kancing kemejanya. Satu, dua, tiga kancing telah terbuka, kini dapat kulihat tubuh itu. Sedikit lagi. Ingin kunikmati setiap lekuk gadis bandung ini. Lebih lama, jauh lebih lama.
            Namun, impianku runtuh seketika, saat dalam kenikmatan itu, di bawah remang lampu jalanan yang menyusup ke balik tirai jendela bis, kedua kelopak mata Putri terbuka, menatapku langsung. Aku terkesiap. Aku mundur dengan cepat, berusaha sebisa mungkin dan berharap dalam kemungkinan yang amat tipis, kesadarannya belum pulih sepenuhnya saat membuka mata tadi. Aku memunggunginya. Berharap-harap cemas, dia hanya kembali menggingau. Namun, kali ini dapat kurasakan gerakan yang lebih mantap di sebelahku. Gerakan bangkit membenahi posisi duduk. Punggungku dingin. Keringat mengucur deras dari dahiku dan nafasku begitu berat. Aku yakin Putri tengah bangun, entah memikirkan apa, yang pasti kini rasanya tengah mengarahkan tatapannya padaku. Diam. Lalu, kurasakan sebuah hentakan kasar dari belakangku. Aku diam. Memberanikan diri meliriknya yang kini memunggungiku, menutupi tubuhnya dengan selimut bis. Pada saat yang sama, aku teringat pada tiga kancingnya yang terbuka.
            Kondisi tak lagi sama, dan tak akan pernah sama lagi. Kami tak pernah bicara lagi setelah itu, saling bertatapan wajahpun tidak. Entah aku atau Putri yang duluan, kami berdua akan selalu memalingkan wajah dan menghindari pertemuan sebisa mungkin. Bukan hanya Putri, empat gadis lain : Nadia, Farah, Endah, dan Sinta, empat gadis yang telah menjadi sahabatku sejak kelas satu, kini ikutan menghidar dan megucilkanku. Aku tidak menyalahkan meraka, sudah sepatutnya mereka berlaku demikian. Siapa yang tidak marah, benci, muak, dan jijik menyadari kenyataan bahwa teman laki-laki polos yang selama ini selalu mereka ajak main, menjadi tempat curhat, dan telah dianggap adik sendiri, ternyata dengan sinting, berniat mencabuli salah satu dari mereka saat tertidur.
            Tidak ada yang salah mengenai perlakuan mereka terhadapku. Aku pantas mendapatkannya, dan memilih menjauhkan diri dari mereka, dari siapapun. Aku merana. Satu-satunya hal yang kuharapkan adalah secepat mungkin lulus dari SMP, dan menjauh dari mereka semua, para sahabatkua. Mereka yang kukhianati.
            Aku berjalan hampa menembus sekumpulan manusia berpakaian serba hitam. Kepalaku berdentum-dentum seperti dihajar palu. Mataku nanar memandangi tubuh Putri yang terbujur kaku di hadapanku. Dia benar-benar pergi. Begitu cepat dan mendadak, menyisakan seonggok daging tak berguna ini tetap menjadi onggokan tak berguna tanpa memberinya kesempatan atau harapan untuk mengembalikan kemanusiaannya lagi.
            Mendadak, aku merasakan lahar panas mengalir dari tubuhku. Hanya saja yang ini keluar dari kedua pelupuk mata. Ia mengalir perlahan. Membasahi kedua pipiku, dan jatuh menimpa ubin keramik putih. Aku sudah selesai. Aku berjalan gontai meninggalkan area pemakaman. Rudi, kawan lama yang masih sering kontak denganku, menawariku untuk pulang bersama. Membahas sesuatu. Namun aku menolaknya. Aku sudah tahu apa yang ingin dibahasnya. Sesuatu yang aku benci mulai hari ini.
            Ia pergi. Putri benar-benar sudah pergi. Tubuhnya sudah terkubur di dalam tanah dan tak mungkin untuk menggalinya kembali tanpa harus berurusan dengan polisi. Di sini, di kamar gelap ini, aku menutup muka dengan kedua tangan. Ia mati. Selesai sudah. Apakah ini berarti Tuhan tidak ingin aku diampuni? Aku menghirup kembali rokok ini. Sudah terbiasa. Aku tidak terbatuk lagi sejak 20 menit yang lalu. Aku kembali memandangi langit-langit kamarku yang putih. Hampa. Dengan begini, resmi sudah aku menjadi bagian dari penghuni neraka. Seorang pengkhianat cabul yang menghabiskan waktu sembilan tahun tanpa niat meminta maaf, dan kini merutuki diri karena kesempatan untuk lahir kembali elah tercerabut dari akarnya. Aku menghela nafas. Kumatikan rokok, menyalakan laptop, membuka folder berisi video-video tak senonoh milikku, dan mencari penyembuhanku sendiri melalui jerit lirih dan rintihan nikmat penuh nista dari video-video tersebut sementara tanganku bergerak melakukan pekerjaannya. Seperti biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar