Seperti biasa, aku tidak bisa berpikir usai
melampiaskan birahiku. Aku duduk terpekur menatap langit-langit kamar. Kosong.
Putih. Namun, dikepalaku seperti penuh dengan bintang-bintang. Sebongkah
perasaan tidak nyaman yang tidak bisa dijelaskan bergejolak dari dadaku.
Mendesak bagai lava yang siap keluar dari mulut gunung berapi. Perlahan,
perasaan itu naik ke kepalaku. Memenuhi ubun-ubunku. Menghambat aliran darah
dan oksigen, menciptakan pening yang
ganjil. Rasanya seperti ada sebuah tangan raksasa yang menarik ujung nyawaku
dari kepala, menariknya keluar sedikit, dan memainkanku bak boneka kayu dengan
benang.
Dalam setiap dosa, tersimpan dambaan untuk terlahir
kembali, begitu yang ditulis oleh Shusaku Endo dalam karyanya Scandal, dan dia
benar. Aku menghela nafas panjang dan berat. Seluruh persendianku seperti
meleleh. Aku bahkan tidak bisa meggerakkan kedua lenganku sangking lemasnya. Kucoba memejamkan mata, melupakan semua kejadian
ini, melupakan kenistaanku sendiri.
Selalu begini.
Saat aku stress, marah, jengkel,
kecewa, atau segala hal yang mengacaukan pikiran, aku akan selalu melarikan
diri menuju muara nafsu. Saat semua selesai, aku akan menjadi seperti sekarang,
berbaring letih karena kehabisan energi, menatap langit-langit kamarku, mencari
penjelasan yang tidak kumengerti, dan semakin frustrasi. Bukannya aku tidak
muak, namun apapun yang kulakukan, saat sesuatu terjadi, aku akan terhanyutkan
oleh emosi, pasrah digiring oleh kumpulan foto dan video tak senonoh, dan
akhirnya berakhir di pemuasan nafsu jangka pendek. Terjebak dalam lingkaran
maksiat yang kuciptakan sendiri.
Aku mencoba bangun. Kuangkat
kepalaku yang masih sangat berat, mencoba mengembalikan serpih-serpih kesadaran
yang tercecer dalam otakku. Masih lemas, pikirku. Susah payah kutahan tubuhku
dengan kedua tangan. Menerima beban berat dengan energy yang terkuras sehabis
masturbasi, lengan kananku gemetaran.
Payah.
Begini sajakah kekuatanku?
Kepalaku masih pening dan terasa
berat. Kuedarkan pandang ke seluruh ruangan kamar. Berukuran 4x5 meter, dengan
dinding bercat putih, beralaskan keramik dengan warna kusam. Pandanganku
tertuju pada tumpukan buku di seberang ruangan. Kamarku dipenuhi dengan buku,
bahkan bisa dibilang hampir mendekati sebuah perpustakaan mini. Terdapat
rak-rak dari kayu yang terpasang di dinding dengan ditopang sepasang plat besi
di masing-masing ujungnya. Di tiap rak, penuh diisi buku-buku dengan tema yang
berbeda-beda. Sejauh yang kuingat ada tentang psikologi, sejarah, budaya
kontemporer, ekonomi, agama, filsafat,
novel, komik, hingga politik. Total, seingatku ada sekitar lebih dari 300 buku
dalam kamarku. Jumlah yang terhitung besar untuk disimpan dalam kamar berukuran
mini seperti ini. Bahkan, banyak buku-buku yang tidak tertampung di rak atau
lemari, sehingga menumpuk di sudut kamar.
Tanganku meraih salah satu buku yang
berada di dekatku. Sebuah novel lama yang diterbitkan ulang karya seorang
penulis negeri sakura, Haruki Murakami, yang berjudul Norwegian Wood atau
Noruwei no Mori. Kubuka kembali halaman terakhir yang kubaca sebelum aku
tenggelam dalam arus nafsu yang tidak mampu dibendung. Kutelusuri sejenak
barisan kalimat, mencoba mengingat kembali perasaan yang merasuk saat aku
membacanya tadi. Dalam beberapa saat, aku kembali tenggelam dalam
kalimat-kalimat tersebut, aku kembali menyirami diriku dengan alur cerita
tentang seorang pemuda biasa yang kehilangan sesuatu dalam dirinya dan resah
atas nasib nelangsanya yang menyukai mantan pacar sahabatnya yang telah mati
bunuh diri sewaktu SMA.
Entah berapa lama waktu terlewat,
akhirnya kuletakkan kembali buku itu di samping
kasur. Perlahan, mencoba berdiri dengan kedua tungkaiku yang masih
sangat lemas. Aku berjalan pelan keluar kamar. Gelap. Kulirik jam dinding,
sudah jam 01.00 malam. Tentu saja.
Dasar tidak berguna.
Aku mendesah lagi. Kemudian, aku
masuk ke kamar mandi, mencuci muka, buang air, dan mengganti celana dalam yang
menimbulkan rasa tidak nyaman itu. Kedua orang tuaku sudah tidur. Tentu saja,
apa yang kuharapkan di tengah malam begini. Aku membuka kulkas dan mengambil
sebotol air dingin yang selalu ibuku siapkan karena tahu kebiasaanku yang
selalu terbangun kehausan di malam hari, dan suka melanjutkan separuh sisa
malam dengan membaca. Meskipun, sampai
sekarang aku meragukan apakah ibuku tahu apa penyebabnya. Sambil membawa botol
air minum, aku meraih handphone ku yang tergeletak di meja makan, dan mengecek
apa ada sesuatu yang terjadi. Benarlah, nafasku tercekat saat aku mengetahui
chatting dari kawan lamaku, Reigan, yang masuk pukul 9 malam tadi.
Innalillahi
wa innalillahi rajiun, telah berpulang sahabat kita, Putri, pada Allah SWT
pukul 20.14 WIB tadi akibat sakit yang almarhumah derita. Semoga segala
almarhumah diterima di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan
dan kesabaran. Amien….
Ada beberapa kalimat lain yang
tertulis, namun aku menolak untuk membacanya lebih lanjut. Putri mati. Sosok
gadis bertubuh kecil dan penuh emosi itu kini telah pergi mendahului kami.
Mendahuluiku. Sontak, seluruh persendianku kembali lemas, lututku seperti
kehilangan energi mendadak dan tak mampu menopang tubuhku lagi. Aku jatuh di
kursi meja makan. Aku terpekur memandang kalender gantung bergambar sekelompok
pekerja konstruksi yang besikap profesional di depan kamera-kalender perusahaan
Ayahku bekerja.
Apakah ini nyata?
Apakah dia sudah benar-benar
menghilang dari kehidupan ini? Secepat itukah Tuhan menjemput makhluknya? Hanya
dalam hitungan beberapa tahun, orang yang aku kenal, yang pernah aku raba
dadanya, kucium bibirnya diam-diam saat tertidur, kini telah mati. Tidak
bernafas. Hilang. Aku semakin terpekur, dan kembali memandang langit-langit.
Malam gelap dan pepohonan yang rimbun
di tepi jalan, suasana sepi, posisi di sudut, dan lelapnya sebagian besar
kawan-kawanku, menimbulkan sesuatu yang mendesak dalam dadaku. Ya, nafsu itu
kembali muncul. Aku duduk di sebelah Putri, tepatnya di samping kananya, dekat
koridor bis kami. Aku menyelimuti tubuhku dengan jaket kelas kami, beniat
megurangi kemungkinan tindakanku terlihat. Setelah semua kurasa sempurana,
dengan nafas terengah-engah seperti orang habis berlari, aku melirik pada
Putri. Parasnya cantik khas gadis keturunan Bandung, dengan kulit kuning
langsat dan mulus, terlihat dari lehernya yang jenjang dan didukung potongan
rambutnya yang pendek sebahu. Cantik sekali. Kuamati tubuh mungilnya yan
terbungkus kemeja berlengan pendek warna biru bergaris-garis putih. Aneh, aku
selalu melihat Putri sebagai gadis kecil yang rapuh. Tubuhnya selalu terlihat
datar, dan tidak menggoda. Namun malam ini, dalam bayangan malam pekat dan
kesunyian ganjil, tubuh itu terlihat segar, montok, dan menggoda dengan buah
dada berukuran pas untuk anak seusia dia.
Perlahan, kuberanikan tangan kiriku
mengelus lembut lengan kanannya. Halus. Halus sekali. Tanganku seperti
menyentuh sebuah kain sutera, dapat kurasakan sentuhan bulu-bulu halus yang
jarang tumbuh di lengannya. Nafasku semakin berat. Mataku nanar memadangi wajah
imutnya. Aku tidak sabar. Aku ingin merengkuh gadis ini, meremas-remas setiap
bagiannya, dan menyesapi setiap elemen kehidupan yang menyeruak dari gadis
ranum ini. Tanganku semakin bergeriliya. Kuraba pelan dadanya dari balik
kemeja. Tak ada reaksi. Dadanya, meskipun berukuran kecil, entah kenapa terasa
begitu sesuai. Begitu lembut, kenyal, dan kecang, rasanya seperti tengah
membuat adonan kue yang siap dipanggang. Nafsuku semakin tinggi. Ada sebuah
gunung yang siap meledak dalam diriku. Remasanku semakin intens, terkadang kuat
dan lemah, seakan ingin mempermainkan dada gadis belia itu. Mendadak, dia
menggeliat. Sontak aku terkejut dan cepat-cepat berpura-pura tidur dengan
membelakangi dia. Degup janutngku menguat. Aku tidak berani berbalik, menunggu
reaksi dari Putri.
Beberapa menit berselang, tidak ada
apapun. Hanya tarikan nafasnya yang seperti orang mendengus, namun lama
kelamaan berangsur normal dan pelan.Aku tidak tahu apa dia sadar apa tidak,
yang pasti dalam pikiranku sekarang, adalah bagaimana berbuat lebih jauh.
Pelan-pelan aku berbalik. Sejenak menatap wajahnya yang terlelap, tampak tidak
ada gurat marah atau terganggu di wajahnya. Mungkin tadi hanya mengginggau,
pikirku. Kubelai pelan pipinya, dan kusentuh pelan bibir atasnya, kutekan-tekan
pelan, memastikan reaksi. Sejurus kemudian, kudekatkan wajahku. Perlahan, dan
semakin dekat, aku menikmati setiap detik itu, dan semakin menikmatinya, saat
kurasakan bibirku menyentuh bibir Putri.
Lembut, sama seperti ketka tanganku
menyentuh dadanya. Hanya saja, kali ini ada sensasi persetuhan kulit, dipadukan
dengan lembab yang berasal dari bibir Putri. Entah dari mana, ada rasa manis
yang menyusup, meningkatkan semangatku untuk mulai melumat pelan bibir Putri.
Entah berapa lama, aku memagut bibir itu, memainkannya, dan membasahinya, dan
bahkan mencoba memasukkan lidahku ke dalamnya. Dalam situasi seperti itu,
pikiranku semakin kabur. Tanganku mulai bergerak meraih kancing-kancing
kemejanya. Satu, dua, tiga kancing telah terbuka, kini dapat kulihat tubuh itu.
Sedikit lagi. Ingin kunikmati setiap lekuk gadis bandung ini. Lebih lama, jauh
lebih lama.
Namun, impianku runtuh seketika,
saat dalam kenikmatan itu, di bawah remang lampu jalanan yang menyusup ke balik
tirai jendela bis, kedua kelopak mata Putri terbuka, menatapku langsung. Aku terkesiap.
Aku mundur dengan cepat, berusaha sebisa mungkin dan berharap dalam kemungkinan
yang amat tipis, kesadarannya belum pulih sepenuhnya saat membuka mata tadi.
Aku memunggunginya. Berharap-harap cemas, dia hanya kembali menggingau. Namun,
kali ini dapat kurasakan gerakan yang lebih mantap di sebelahku. Gerakan
bangkit membenahi posisi duduk. Punggungku dingin. Keringat mengucur deras dari
dahiku dan nafasku begitu berat. Aku yakin Putri tengah bangun, entah
memikirkan apa, yang pasti kini rasanya tengah mengarahkan tatapannya padaku.
Diam. Lalu, kurasakan sebuah hentakan kasar dari belakangku. Aku diam.
Memberanikan diri meliriknya yang kini memunggungiku, menutupi tubuhnya dengan
selimut bis. Pada saat yang sama, aku teringat pada tiga kancingnya yang
terbuka.
Kondisi tak lagi sama, dan tak akan
pernah sama lagi. Kami tak pernah bicara lagi setelah itu, saling bertatapan
wajahpun tidak. Entah aku atau Putri yang duluan, kami berdua akan selalu
memalingkan wajah dan menghindari pertemuan sebisa mungkin. Bukan hanya Putri,
empat gadis lain : Nadia, Farah, Endah, dan Sinta, empat gadis yang telah
menjadi sahabatku sejak kelas satu, kini ikutan menghidar dan megucilkanku. Aku
tidak menyalahkan meraka, sudah sepatutnya mereka berlaku demikian. Siapa yang tidak
marah, benci, muak, dan jijik menyadari kenyataan bahwa teman laki-laki polos
yang selama ini selalu mereka ajak main, menjadi tempat curhat, dan telah
dianggap adik sendiri, ternyata dengan sinting, berniat mencabuli salah satu
dari mereka saat tertidur.
Tidak ada yang salah mengenai
perlakuan mereka terhadapku. Aku pantas mendapatkannya, dan memilih menjauhkan
diri dari mereka, dari siapapun. Aku merana. Satu-satunya hal yang kuharapkan
adalah secepat mungkin lulus dari SMP, dan menjauh dari mereka semua, para
sahabatkua. Mereka yang kukhianati.
Aku berjalan hampa menembus
sekumpulan manusia berpakaian serba hitam. Kepalaku berdentum-dentum seperti
dihajar palu. Mataku nanar memandangi tubuh Putri yang terbujur kaku di
hadapanku. Dia benar-benar pergi. Begitu cepat dan mendadak, menyisakan
seonggok daging tak berguna ini tetap menjadi onggokan tak berguna tanpa
memberinya kesempatan atau harapan untuk mengembalikan kemanusiaannya lagi.
Mendadak, aku merasakan lahar panas
mengalir dari tubuhku. Hanya saja yang ini keluar dari kedua pelupuk mata. Ia
mengalir perlahan. Membasahi kedua pipiku, dan jatuh menimpa ubin keramik
putih. Aku sudah selesai. Aku berjalan gontai meninggalkan area pemakaman.
Rudi, kawan lama yang masih sering kontak denganku, menawariku untuk pulang
bersama. Membahas sesuatu. Namun aku menolaknya. Aku sudah tahu apa yang ingin
dibahasnya. Sesuatu yang aku benci mulai hari ini.
Ia pergi. Putri benar-benar sudah
pergi. Tubuhnya sudah terkubur di dalam tanah dan tak mungkin untuk menggalinya
kembali tanpa harus berurusan dengan polisi. Di sini, di kamar gelap ini, aku menutup
muka dengan kedua tangan. Ia mati. Selesai sudah. Apakah ini berarti Tuhan
tidak ingin aku diampuni? Aku menghirup kembali rokok ini. Sudah terbiasa. Aku
tidak terbatuk lagi sejak 20 menit yang lalu. Aku kembali memandangi
langit-langit kamarku yang putih. Hampa. Dengan begini, resmi sudah aku menjadi
bagian dari penghuni neraka. Seorang pengkhianat cabul yang menghabiskan waktu
sembilan tahun tanpa niat meminta maaf, dan kini merutuki diri karena
kesempatan untuk lahir kembali elah tercerabut dari akarnya. Aku menghela
nafas. Kumatikan rokok, menyalakan laptop, membuka folder berisi video-video
tak senonoh milikku, dan mencari penyembuhanku sendiri melalui jerit lirih dan
rintihan nikmat penuh nista dari video-video tersebut sementara tanganku
bergerak melakukan pekerjaannya. Seperti biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar