Selasa, 18 April 2017

Belajar Untuk Mencintaimu

      



 Fatih tidak bisa mempercayai penglihatannya. Dalam kegelapan di kamarnya yang sempit itu, mendadak muncul sesosok perempuan dengan rambut putih seperti salju. Rambutnya panjang, hingga helai-helainya yang tampak lembut laksana benang sutra mampu melingkupi nyaris sekujur tubuhnya. Wajah perempuan itu tampak pucat, namun mampu memancarkan kecantikan yang ganjil di mata Fatih. Baginya, paras ayu perempuan itu seperti bukan berasal dari dunia ini. Kecantikan yang tidak manusiawi. Tubuh mungil perempuan itu melayang di udara dengan posisi tubuh yang saling menempel seperti bayi dalam kandungan seorang ibu.  Ia mengenakan pakaian berupa kain putih bersih yang membungkus tubuhnya dengan hati-hati, jenis pakaian yang pernah dilihat Fatih dalam ilustrasi perempuan kekaisaran kuno. Sosoknya dilingkupi oleh sesuatu semacam kain yang benar-benar tipis, lembut, dan nyaris transparan seperti air. Dari tubuhnya, memancar sinar lembut seperti matahari pagi. Sementara itu. kedua matanya tertutup, menandakan perempuan misterius itu sedang tidak sadar.

   Keheningan terjadi selama beberapa saat hingga akhirnya Fatih berhasil menguasai diri. Dipandanganya perempuan misterius tersebut, ditelusurinya tubuh mungil nan rapuh yang hadir di depannya dalam kehampaan yang dilahirkan siang. Lalu, sebelum ia sadari, Fatih terpesona dengan perempuan itu. Perlahan, ia berjalan mendekat, tangannya mencoba meraih tubuh tersebut. Saat tangannya nyaris menyentuh kulit yang putih bersinar tersebut, kedua mata perempuan itu terbuka. Sontak, Fatih tersentak kaget dan mundur beberapa langkah. Sejenak, rasa takut  menyelinap dalam hatinya.

       Perempuan rupawan itu memandangi Fatih dengan sepasang mata biru cerahnya yang besar bulat. Tidak ada ancaman atau ketakutan yang tampak dari sinar mata itu, sejujurnya, menurut Fatih, kedua mata yang unik justru menjadikan perempuan itu seperti bayi yang pertama kali bertatap pandang dengan ibunya. Polos, penuh harap, dan bahagia.

      Saat Fatih masih termangu, perempuan itu memutar tubuhnya, dan mendaratkan kakunya pada ubin kamar yang dingin. Saat itu, Fatih baru menyadari bahwa kaki phinerempuan itu juga sangat mungil dan ramping. Setelah kakinya menapak di lantai, perempuan itu, tanpa kata terucap, berjalan mendekati Fatih yang terpaku. Ia mendekatkan wajahnya hingga hanya menyisakan jarak beberapa senti dari ekspresi kaku Fatih. Pemuda itu panik, meski berusaha menutupinya. Ia tidak pernah sedekat ini dengan perempuan manapun, dan tidak mengerti situasi apa yang tengah ia hadapi. Sebagai tambahan yang membuat kondisi itu lebih parah ialah hembusan nafas lembut perempuan itu yang terasa hangat di wajahnya.

   Perempuan itu belum juga usai memandangi Fatih dengan pandangan yang tak mampu ia terjemahkan. Seakan belum cukup menyiksa pemuda di depannya, perempuan aneh itu menyentuh pipi kanan Fatih. Sengatan listrik menjalar dari sentuhan lembut itu dan membekukan tubuh Fatih secara sempurna, menghentikan sistem pernafasannya, dan memacu detak jantungnya.

      “Kamu...Piersga...?” tanya perempuan itu tiba-tiba. Entah kenapa, Fatih seperti pernah mendengar suara itu sebelumnya; Entah di mana, dan kapan.

    “Eh...bukan...” Fatih berupaya mengeluarkan suara dengan kesadarannya yang semakin tergoyahkan oleh sentuhan melenakan di pipinya.

      Perempuan itu terdiam. Dan entah benar atau hanya perasaan, Fatih menangkap rasa tidak percaya yang terpancar dari sinar mata biru tersebut. Sentuhan hangat di pipinya perlahan bergerak turun. Jangan, alam bawah sadar Fatih memprotes. Namun rupanya, perempuan itu tidak menurunkan tangannya, sebaliknya, justru sentuhan itu berubah menjadi belaian lembut yang semakin memperkuat sengatan listrik pada tubuh Fatih.

      “Kamu...Piersga...”

       Kali ini Fatih tidak mengiyakan atau menolak. Ia tidak ingin jawaban apapun membuat gadis itu berhenti menyentuh dirinya. Gadis itu terus membelai pipi Fatih beberapa saat, hingga sinar matanya berubah cerah, pupil matanya melebar seakan ia telah menemukan sesuatu yang dicari setelah sekian lama. Lalu, tanpa diduga, ia memeluk erat tubuh Fatih.

    Nafas pemuda itu tercekat...lagi. Kehangatan, kelembutan, dan aroma wangi tubuh mungil perempuan itu sontak meresap dalam setiap sensor tubuh Fatih. Wangi ini..., sesuatu berkilat-kilat dalam memori Piersga. Sesuatu yang jauh, dan samar. Sensasi yang nyata, senyata hembusan nafas dan detak jantung yang kini terasa dari balik kain tipis. Saat itulah, Fatih benar-benar yakin, siapapun gadis di depannya, apapun yang terjadi di kegelapan itu, pada detik itu, bukanlah mimpi.

    “Piersga....Piersga...Piersga....” perempuan memperat dekapannya di setiap ucapan kata. Pada akhirnya,  Fatih membalas pelukan hangat itu. Ia melingkarkan tangannya pada tubuh kecil tersebut, dan mendekap hati-hati seakan perempuan itu adalah sayap kupu-kupu yang mudah luruh.

    “Aku mencarimu.... selama ini.... aku mengingatmu...”, ujar gadis tersebut dengan suara tersendat. Nafasnya terputus, sepertia ada sesuatu yang menghambat tenggorokannya. Lalu Fatih menyadari bahwa perempuan itu sedang menangis. Secara reflek, Fatih membelai rambut putih mengkilat perempuan itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun suara itu, beserta seluruh perasaan perempuan yang berada dalam dekapannya kini, mengalir dalam dirinya, dan ikut melukai hati Fatih.

       Perempuan itu melepaskan pelukannya. Ia menatap Fatih dan menguraikan senyum termanis yang pernah dilihat Fatih. Matanya masih merah dan berkaca-kaca dan sisa tangisan yang melembabkan kedua pipi halus, berpadu menciptakan kecantikan lain dari keanggunan wajahnya yang asing, menciptakan kecantikan baru dalam yang berbeda. Fatih kembali tercekat, dadanya sakit. Perih, seperti ribuan jarum yang menusuk ulu hatinya.

         “Siapa namamu?” Tanya Fatih tanpa pikir panjang

         “Viria... kawanmu, kekasihmu, perindumu...kamu tidak ingat denganku?”

         Viria. Berbeda dengan suara dan aroma tubuhnya, nama itu tidak membunyikan dering apapun dalam kepala Fatih. Namun dalam hati, pemuda itu menyakini kalau mungkin di masa lalu, mereka berdua pernah bertemu.     

      “Maaf...” Jawab Fatih sambil menggeleng. Viria tersenyum, “Tidak apa-apa. Aku tahu kalau semua ini akan terjadi...”, ia membelai lembut pipi Fatih lagi, “Yang terpenting, kita bisa bertemu lagi...”

         Ada banyak hal yang tidak Fatih mengerti, dan banyak pula yang dia rasa perlu ia ketahui. Sosok perempuan rapuh di depannya adalah satu-satunya sumber informasi yang bisa dia dapatkan, jawaban yang hanya berjarak beberapa kata. Namun, entah kenapa, pemuda itu lebih suka semua tetap samar. Ia ingin pertemuan mereka tetap misterius, dan tak pernah terjawab.

      “Aku tidak akan memaksakan ingatanmu... tapi ada satu pintaku, maukah kau mendengarkannya?”, tanya Viria tiba-tiba. Ia kembali memandang Fatih dengan sepasang mata yang menghantarkan listrik itu. Fatih mengangguk.

         “Saat matahari muncul nanti, maukah kau belajar untuk mencintaiku?”

         Fatih mengernyit. Ia tidak mengerti makna dari pertanyaan yang mendadak macam itu. Bahkan, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang bisa memahami permintaan Viria. Dalam hati, Fatih bertanya-tanya, apakah alasan kenapa perkataan Viria sulit dipahami adalah karena dia adalah perempuan? Jika dia menginginkan sesuatu dari dirinya, kenapa Viria tidak mengatakannya dengan bahasa yang lugas dan terang? Namun, sekali lagi, Fatih menahan rasa penasarannya, semua untuk mempertahankan kemisteriusan gadis cantik itu.

         Fatih balas memandang tatapan Viria, dan hanya satu hal yang menjadi jelas baginya : Ia jatuh cinta pada perempuan aneh di depannya. Jatuh begitu keras, hingga menimbulkan rasa sakit yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa sakit yang membuatnya rindu, membuatnya kecanduan. Fatihpun berpikir, dia bisa memenuhi permintaan Viria. Dia  sanggup mencintai gadis itu, bahkan sebelum matahari terbit.

       Pemuda itu meraih dan menggenggam erat kedua tangan Viria, mendekatkannya pada dada bidang miliknya. Tanpa melepas pandangan dari sepasang mata biru cerah Viria, dia mengikrarkan sumpah yang tak pernah ia lakukan sebelumnya,

        “Aku bersumpah akan mencintaimu, sebelum terbitnya sinar mentari pagi, hingga bulan terakhir sebelum kematianku...”, ucapnya dengan sepenuh keyakinan yang tidak pernah ia punya sebelumnya.

          Bagaimana aku bisa berubah dalam pertemuan sesingkat ini? Kenapa dengannya? perempuan yang muncul dalam kegelapan, perempuan yang berasal dari dunia yang berbeda denganku, perempuan yang dalam sekejap memporak-porandakan kehampaanku..

         Viria tersenyum tipis. Ia membelai pipi Fatih sekali lagi, dan memicu rasa sakit penuh candu itu sekali lagi di dada Fatih. “Aku tidak memintamu untuk berjanji. Aku tahu kamu mencintaku, seperti aku merindukanmu. Yang kuminta adalah belajarlah untuk mencintaiku, karena hanya dengan begitu, kerinduan kita akan bertemu.. Bisakah?”

         Fatih mengangguk. Ia pererat pelukannya pada Viria, ingin ia bisa bersatu dengan Viria sesegera mungkin. Ingin ia habiskan setiap nafasnya bersama perempuan itu.

      “Viria, ijinkan aku bertanya satu hal. Apakah semua ini hanyalah mimpi?” tanya Fatih. Mendengar pertanyaan Fatih, setitik air bening merembes dari sepasang mata biru Viria. Ia mencoba tersenyum, meski Fatih merasakan luka yang ia redam di baliknya.

      “Mimpi hanya terjadi saat kita terbangun, kasihku, Fatih...” Segera setelah Viria mengucapkan kata-kata tersebut, cahaya yang berpendar dari tubuhnya meredup, diikuti dengan kehangatan, kelembutan, dan kerapuhan yang berada dalam dekapannya. Tubuh Viria berubah transparan seperti hantu yang kesepian.

         “Viria?! Viria?!!”, Fatih meraih-raih tubuh Viria yang semakin tak nyata. Namun, suaranya tidak lagi mencapai Viria. Gadis itu melempar senyum manisnya sekali lagi, dengan kilau bening air mata yang memantul melalui sisa cahaya.

      Viria lenyap. Tubuhnya menghilang, dan semua kembali seperti semula; Kegelapan dan kehampaan di sudut kamarnya yang sepi. Fatih jatuh di atas lutut, matanya memandangi ubin kamar yang dingin. Tidak ada apa-apa di sana, karena cahaya dari Viria telah tiada. Namun rasa sakit di dadanya masih membekas, berdetak perlahan. Sekelebat aroma wangi tubuh Viria memberikannya nyawa, mengingatkannya pada janji yang mereka berdua buat.  
             
*Catatan :
Piersga = Nama Yunani yang bermakna "pecinta kuda"
Viria= bentuk lain dari Virya, dalam bahasa sansekerta bermakna "semangat"

Disclaimer : Hak cipta ilustrasi sepenuhnya milik pihak yang berbeda. Penulis hanya menggunakannya sebagai elemen pendukung cerita tanpa tujuan komersialisasi.

sumber ilustrasi : pixiv.net


Tidak ada komentar:

Posting Komentar