Senin, 31 Oktober 2016

Tidak Ada Makam di Kotaku

Kotaku punya satu ciri khas unik : ia tidak punya pemakaman. Wajarnya, sebuah wilayah seperti desa, kecamatan, atau satuan daerah tertentu akan mengalokasikan sebagian kecil tanahnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini tentu saja dilatarbelakangi oleh faktor kesehatan, agama, dan budaya. Biasanya pihak yang menyediakan adalah warga lokal atas dasar kesepakatan bersama dengan menggunakan tanah waqaf, atau mekanisme lain, ada juga yang memang disediakan oleh pemerintah. Pihak manapun yang menyediakan, kemudian akan menyerahkan pengelolaannya pada lembaga lain, entah itu bersifat swasta atau publik. Di negeri tertentu, pemakaman bahkan dibuat ladang bisnis yang berkelanjutan. Pengusaha yang bergerak di bidang ini menyediakan layanan mulai dari penyediaan lahan, penyiapannya, perawatan mayat, hingga mengurus kebersihan makam ke depannya.
Tapi kotaku berbeda, kami sudah tidak lagi memiliki lahan pemakaman khusus. Dewan kota sepakat untuk menghapus lahan pemakaman yang ada sejak delapan tahun yang lalu, saat putra ketiga salah seorang dermawan kota terkaya meninggal akibat mata cangkul yang digunakan penggali makam lepas, melayang, dan menghujam tepat di kepala bocah berusia tiga belas tahun itu saat ia tengah berziarah ke makam kakeknya yang terkenal korup semasa hidupnya. Aku tidak tahu bagaimana hal itu bisa berhubungan, karena akupun baru kembali ke kota ini setelah sekian lama berpergian. Yang pasti setelah kejadian itu, satu persatu lahan pemakaman kota dibongkar dan dirubah menjadi sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Di atas pemakaman tersebut, dibangun sebuah hutan buatan dengan rimbunan pohon hijau yang menudunginya. 
Aku menanyakan, bagaimana dengan mayat-mayatnya? Dan kakak perempuanku menjawab bahwa mayat-mayat itu tetap di sana. Sama sekali tak disentuh. Malahan, berdasarkan kesepakatan penduduk kota, setiap mayat tambahan yang hadir di pemakaman tidak akan lagi dperlakukan sebagai sebuah benda mati yang terkubur dengan tanda batu nisan saja, melainkan sebagai bibit baru bagi sebagai tambahan satu pohon baru. Awalnya, aku tidak begitu mengerti, lalu kemudian kakakku mengajakku ke sebuah acara pemakaman untuk salah seorang warga kota yang meninggal akibat tabrakan antar sepeda motor. Sesampainya di rumah duka, aku tidak melihat apapun yang janggal. Semuanya berpakaian serba hitam, dengan tangis sendu, dan kesuraman khas kematian. Aku bisa melihat sebuah bilik yang ditutupi tirai kuning di sudut jalan; itu adalah tempat keluarga memandikan jenazah. Semua berjalan sebagaimana yang bisa kuingat, dan mereka lalu membawa jenazah itu ke pemakaman yang kini berubah jadi hutan buatan di tengah kota.
Pertama kali aku berada dekat dengan hutan tersebut, suasana teduh merasuk dalam mataku. Warna hijau yang menenangkan, dan bau dedaunan yang menyenangkan berpadu jadi satu dan menciptakan perasaan damai. Sama sekali tidak ada guram gelap dan sendu kematian yang memancar dari lahan yang tertanam orang mati. Aku sempat terpesona sejenak memandangi  pepohonan yang ditata apik, layaknya taman hutan sungguhan(Dan kakakku mengatakan, memang hutan buatan ini juga dibuka untuk wisata)
Rombongan duka mulai memasuki gerbang hutan yang terbuat dari kayu pinus, di atas portal terpasang papan dari kayu yang dicat putih, bertuliska besar : “HUTAN KOTA GIBRAN : Tak ada akhir bagi yang percaya, dan awal baru bagi kasih sayang sejati”. Aku memandanginya sejenak, dan bertanya kembali pada kakakku, “Siapa Gibran?” 
“Itu putra Sang Dermawan yang meninggal di pemakaman ini dulu. Kematiannyalah yang melahirkan hutan ini...” Jawab Kakak ku seraya melanjutkan langkah mengikuti rombongan duka.
Aku terkejut mendengar saat ia mengatakan, kematiannyalah yang melahirkan, dengan raut wajah senang. Entah bagaimana rasanya begitu tidak wajar, seakan-akan kematian bocah malang itu membawa hadiah natal baginya, atau mungkin bagi seluruh warga kota. Sesaat aku berpikir, bagaimana perasaan Sang Dermawan melihat kematian anaknya? dan perasaannya mengenai hutan ini? Lamunanku berakhir saat suara kakak menghentak kesadaranku, rombongan sudah memasuki bagian dalam hutan, dan akupun pergi menyusul. 
Hutan bagian dalam rupayanya menghadirkan nuansa yang lebih teduh daripada pemandangan luar. Sinar matahari menembus melalui celah-celah dedaunan, dan menghantarkan udara hangat-hangat kuku. Sungguh suasana yang nyaman untuk terlelap. Kuperhatikan sekeliling, diantara pepohonan yang telah menjulang tampak beberapa bibit pohon segar yang bertebaran di tanah-tanah yang masih kosong. 
“Itu orang-orang yang baru meninggal...” Bisik kakak. Ohh..., aku mengangguk-angguk. 
Sesaat kemudian, rombongan duka berhenti di suatu lapangan di tengah hutan. Di tengah-tengah lahan itu terdapat lubang dengan diameter sekitar satu meter. Sebuah lubang yang kecil, jika memang ingin digunakan untuk mengubur manusia. Aku penasaran, tapi mencoba untuk tidak bertanya. Keranda jenazah diturunkan, kemudian kain hijau yang menutupinya disingkap. Dadaku sejenak terasa sesak melihat sosok berbalut kain putih, dan wajah kaku itu terbujur lurus di atas matras. Tak lama berselang, aku melihat sesuatu yang baru; beberapa pria muncul sambil menggotong sebuah benda aneh. Benda itu berwarna putih telur, dan bahkan berbentuk nyaris seperti telur, hanya saja bagian atasnya berongga. Diameter benda itu kira-kira delapan puluh senti lebih, dengan tinggi mencapai satu meter. Kecil, namun cukup besar untuk... memasukkan manusia? Aku terhenyak. Apakah mereka akan memasukkan jenazah itu dalam cangkang telur tersebut? Aku mau bertanya, namun lagi-lagi kusimpan rasa penasaranku. 
Dan benar, pria-pria berkemeja hitam, yang nampaknya berasal dari suatu lembaga tertentu, mulai merubah posisi tubuh jenazah yang telentang di matras, menjadi seperti posisi tubuh bayi dalam kandungan. Kemudian, mereka menggotongnya,dan memasukkannya dalam cangkang telur tersebut. Setelah itu, salah seorang pria lain, datang membawa sesuatu yang ganjil. Perlu beberapa saat bagiku, untuk menyadari bahwa itu adalah bagian atas, atau tutup dari cangkang telur tersebut. Di bagian atas tutup cangkang telur tersebut, menempel sebatang pohon muda dengan akar-akarnya yang meililit dan menusuk masuk ke bagian dalam tutup tersebut. 
“ Itu adalah ReLife, penemuan dari tim ilmuwan yang disewa keluarga tersebut. Mereka terdiri dari ahli kimia, biologi, dan teknik. Cangkang telur itu dirancang untuk mempercepat proses dekomposisi organisme yang ada di dalamnya, yang kemudian, akan diserap sebagai nutrisi yang sangat bagus oleh pohon muda di atasnya melalui akar-akar yang terhubung tersebut..” Jelas kakakku. Aku mendengarkannya sambil tercenung. Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi terhadap inovasi ini. Membayangkan tubuh manusia akan diserap oleh tumbuhan sebagai nustrisi, membuatku sedikit mual. Mendadak aku merasa rerumputan di bawah kakiku mulai menggerayangi betisku, dan pohon-pohon besar itu menatap lapar padaku.
“Kenapa mereka setuju melakukannya? Maksudku pastinya ngeri membayangkan ayah atau ibu dijadikan pupuk oleh pohon-pohon itu”, tanyaku. Kakak tersenyum, dan kemudian menjawab, “ Bukankah justru bagus? Kematian orang tua kita, menghadirkan kehidupan baru bagi makhluk lain...” Ia berujar persis seperti slogan di papa selamat datang hutan ini. Namun, aku belum bisa memaklumi kebiasaan baru ini. Beberapa saat kemudian, “pemakaman itu selesai, dan rombongan bubar meninggalkan hutan. Sekilas, dapat kulihat belasan anak muda tengah berpiknik, tak jauh dari pemakaman tadi. 
Tiga bulan kemudian, kakak meninggal. Ia jatuh tersungkur di sebuah subuh usai melaksanakan salat subuh di rumahnya. Diagnosis dokter tidak menemukan apapun yang mencurigakan, selain pernyataan bahwa jantungnya berhenti secara tiba-tiba. Aku terguncang. Kupandangi wajah ayah, ibu, suami, serta anak lelakinya yang masih berusia lima tahun : Lintang. Kakak adalah satu-satunya perempuan yang paling dekat denganku selain ibu. Bertahun-tahun aku pergi, hanya wajah mereka berdua yang menghalangiku dari setiap pikiran bodoh yang melintas. Saat ia memutuskan untuk menikah, aku sempat merasa sedih dan takut dia akan berubah; namun kepulanganku beberapa waktu lalu, menghapus semua itu. Ia tetap perempuan yang sama, dengan senyum dan kata-kata yang membuatku tenang.
Kulihat Lintang menangis keras, sepanjang persiapan pemakaman ibundanya. Aku mendekatinya, dan serta menggendong dan memeluknya erat, seolah hendak berbagi perasaan itu dengannya. Mas Heru menepuk pundakku, kulihat matanya membengkak karena air mata yang kutahu telah berjuang ia tahan di depan Lintang. Ayah dan Ibu, termenung, tak percaya salah satu anak kesayangannya pergi begitu saja. Tak perduli apapun yang diucapkan kyai dan tetangga tentang takdir atau kematian yang indah, keindahannya dalam menemui ajal, tak mengubah fakta bahwa ia sudah pergi meninggalkan kami.
Seperti warga kota lain, kakak dimakamkan di Hutan Kota Gibran. Seluruh proses berjalan begitu cepat seusai meninggalkan rumah duka. Ketika aku melewati gerbang hutan, tak kurasakan hawa teduh dan sejuk seperti saat pertama kali mengunjunginya bersama kakak; Tampaknya saat kematian itu merebut apa yang kita cinta, batu nisan ataupun pohon-pohon rindang tak berarti sama sekali.
 Saat jenazah kakak hendak dimasukkan dalam cangkang telur itu, aku menawarkan diri untuk menggendongnya, dan Mas Heru setuju karena aku adalah adik satu-satunya, dan telah lama tidak berjumpa dengan kakak. Kubawa tubuh kakak dalam lengan, dan dapat kurasakan bobot tubuhnya lebih ringan dari yang kuduga. Perlahan, aku melangkah menuju cangkang telur putih yang menganga, dan di setiap langkah itu, kurasakan perasaan ganjil yang perlahan memenuhi dadaku. Ketakutan yang kubayangkan saat pertama kali melihat proses pemakaman ini, dan bayangan pepohonan yang siap menyerap setiap tetes sari kehidupan kakak, perlahan semakin kuat. Lalu, tanpa kusadari, aku telah berada di depan mulut cangkang tersebut. Dibantu dengan pria lainnya(yang ternyata merupakan pegawai perusahaan pemakaman), kumasukkan tubuh kakak ke dalamnya. Tubuh tak bernyawa itu jatuh dan bersender lemas pada dinding cangkang yang gelap. Kupandangi wajahya sesaat, dan kemudian tutup cangkang dikeluarkan. Perlahan-lahan, cangkang itu dimasukkan dalam lubang galian, dan akhirnya, hanya menyisakan sebatang pohon muda, dengan setetes embun di dedauannya yang hijau segar.
Kematian kakak, membuat lubang kosong pertama dan mungkin yang terbesar dalam hatiku. Ruang kosong itu mampu dilewati angin malam yang beku,dan meninggalkanku dalam kehampaan. Rencana awal, aku hanya akan tinggal di kota kelahiranku dalam waktu enam bulan, dan pergi kembali melanjutkan perjalanan. Namun, sesuatu menahanku. Rencana itu kurevisi dan kuperpanjang masa tinggalku di sini menjadi satu tahun. Selama itu, semenjak pemakaman kakak, aku pergi keluar tiap sore menjelang. Kawan-kawanku telah lama berkeluarga, dan aku memang tak punya minat untuk berkumpul dengan mereka. Alih-alih pergi ke bar untuk mabuk-mabukan seperti kebiasaanku, langkah kaki menuntunku menuju Hutan Kota Gibran. Saat lagi-lagi aku melewati gerbang masuknya, kerindangan itu kembali bersama kedamaian, ketenangan, dan...entah bagaimana, kerinduan. Aku melangkah gontai menuju letak pemakaman kakak. 
Sesampaianya di sana, kulihat sebatang pohon muda yang menjadi “batu nisan”nya. Aku tidak tahu jenis pohon apa itu; dahan-dahannya masih kecil dan rapuh. Daun-daunnya pun belum hijau sempurna, masih pucat. Kuamati pohon kecil tersebut, dan ada sesuatu yang sebenarnya telah menggangguku sejak kemarin, yaitu sebuah papa kecil yang tertancap di dekat pohon tersebut. Papan itu bertuliskan : 
                   Di sini, terlahir kembali putri dan ibu kami yang cantik :      
                                         LIANA CENDANA PUTRI
                  Karena ia akan senantiasa hidup, dan menghidupi kami
Benarkah kakak terlahir kembali di hutan ini? Melalui sebatang pohon ini? Kupandangi pohon kaku itu dalam diam. Bisakah aku kembali melihat senyum dan mendengar ucapannya yang menenangkan dari kebisuan makhluk berkayu ini? Bagaimana aku bisa percaya, bahwa ini bukanlah sekedar obsesi aneh keluarga kaya yang dipaksakan pada masyarakat kota...?
Aku duduk bersimpuh di depan pohon kakak, dan mencoba membelai lembut dedaunannya. Tidak ada pergerakan, atau reaksi alamiah. Tentu saja, apa yang kau harapkan? Aku bangkit, dan melangkah pergi dari taman itu.
Hari-hari berikutnya, kutemukan diriku terus menerus mengunjungi Hutan Kota Gibran, entah sendiri atau bersama Mas Heru dan Lintang. Aku selalu mengunjungnya setiap sore menjelang. Aku pun tak memahami setan macam apa yang merasuki dan mendorongku masuk ke hutan ini. Sore itu, aku berharap tak akan pernah mengunjunginya lagi. Namun, rupanya niat itu batal pegelola pemakaman mengabarkan adanya sedikit kerusakan pada pohon kakak akibat hujan badai yang menerpa kota selama beberapa hari. Meskipun mereka berkomitmen untuk merawatnya, mengatakan insiden ini merupakan hal biasa, dan sekedar melaporkan, aku tidak bisa menahan keinginanku untuk pergi ke sana, dan merawatnya sendiri. Sejak saat itu, aku pun kembali rutin mengunjungi pohon kakak.
Satu tahun berlalu, dan aku memperpanjang masa tinggalku kembali. Sebenarnya, keinginanku untuk kembali berpergian sudah tidak ada lagi. Aku berdalih, sudah saatnya aku menetap, dan tak ada tempat yang lebih tepat selain kampung halaman karena aku bisa merawat kedua orang tuaku.Jauh dalam hatiku, aku tidak ingin kehilangan momen lebih banyak bersama mereka berdua. Setiap senja aku memandangi pohon kakak, muncul keinginan untuk bisa berbicara lebih banyak bersama kedua orang tuaku, saat mereka masih berwujud manusia, dan aku bisa mendengar suara mereka. Aku ingin bersama mereka saat aku masih bisa menyentuh kedua tangan mereka, dan mengusap wajah mereka yang semakin kasar akibat keriput-keriput tua. Seiring dengan pohon kakak yang semakin tinggi dan kuat, aku tahu semakin dekat waktu kedua orang tuaku akan berubah menjadi pohon.
Meski begitu, perlahan namun pasti, aku juga semakin kehilangan rasa benci dan takut pada pepohonan itu. Mereka tak lagi nampak ingin memangsaku, malahan, makhluk-makhluk diam itu seolah melindungiku dan merindukan kehadiranku. Di depan pohon kakak, aku seringkali tertidur seolah bersandar pada pahanya, seperti saat dulu kami masih kecil. Terlebih, saat aku berbincang dan memperhatikan orang-orang yang bersantai di taman tersebut, rata-rata mereka tidak datang dengan tujuan awal untuk sekedar tidur-tiduran di bawah teduhan pohon, melainkan bermain dengan orang terkasih mereka-yang telah berubah wujud menjadi pohon.
Kini aku paham makna slogan di gerbang penyabut taman ini, “Tidak ada akhir bagi yang percaya, dan awal baru bagi kasih sayang sejati”.  Di sini, di bawah pepohonan yang tumbuh melalui orang-orang yang kami cintai, kami tidak menangisi kematian orang-orang yang kami cintai, tapi kami menyambut kembali mereka yang lahir dalam bentuk kehidupan baru.
Aku menyirami pohon kakak yang telah tumbuh setinggi dahiku, beningnya butir-butir air yang menempel di daun hijaunya memantulkan sinar senja ke mataku. Dalam bias cahaya itu, aku melihat kakak tersenyum padaku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar