Senin, 31 Oktober 2016

Lucid Dream

Sumber : artworld.com
Laki-laki itu memunggunginya, seakan waktu tak pernah memaksa mereka berpapasan di persimpangan takdir. Alisa ingin menamparnya, mengikatnya, dan menghantam wajah lembut yang diingatnya dalam setiap malam dan mimpi yang memabukkan. Ia tidak paham bagaimana seseorang bisa melupakan - atau berpura-pura melupakan-orang lain semudah itu. Tangan Alisa mencoba menggapai punggungnya, namun jarak diantara mereka semakin melebar seakan terdapat roda bergerak di bawah kaki mereka, membawa mereka ke arah yang berbeda.
Namanya, ah, Alisa bahkan tak sempat mengetahui namanya. Laki-laki itu datang begitu saja dalam pikirannya. Seperti anak kecil nakal yang masuk tanpa sopan santun ke rumah seorang perempuan kesepian, hanya karena ia melihat gadis itu menangis di sofa ruang tamu. Laki-laki itu kemudian menarik paksa tagannya, menyeretnya keluar menuju terik sinar matahari dan tiupan angin. Awalnya, Alisa berusaha menolak, menarik kembali tangannya, dan berlari pulang ke sofa ruang tamu untuk merajut kesedihannya; namun bocah itu tidak menyerah.Dia melemparkan senyum khas anak badung ke arahnya, dan seketika itu, Alisa berhenti menolak. Gadis kecil yang menangis itu menyerah dalam arus yang diciptakan laki-laki itu.
Tapi aku harus memanggilnya, pikir Alisa. Perempuan berbibir tipis itu membuka mulutnya, hendak memanggil. Tapi entah bagaimana, ia tidak mampu mengeluarkan suara apapun. Alisa panik; panik karena ia merasa tak mampu mengendalikan tubuhnya, dan panik karena lelaki itu semakin menjauh. Punggungnya semakin lama semakin mengecil. Alisa mencoba mengerakkan tangannya, gagal. Kakinya, gagal. Semua diam tak bergerak, seakan seluruh syaraf tubuhnya sudah mati. Ia lumpuh. Ia berdiri kaku seperti patung di pinggir halte yang diguyur hujan tersebut. Diam-diam, ia ingin menangis. Air matanya turun, namun hanya dalam kebisuan. Gadis manis itu menangis, dan berusaha menangis sekeras mungkin dengan harapan ada sepatah suara yang keluar dari celah-celah sumbat gaib yang menyelubungi dirinya. Laki-laki itupun semakin jauh, dan hujan semakin deras mengguyur halte kecil itu, menghilangkan segala hal didepannya seperti tirai penutup pertunjukan.
Alisa terbangun. Keringat dingin mengalir deras dari dahinya. Pakaiannya basah, terutama bagian punggung. Ia mencoba mengumpulkan kesadaran, dan memperhatikan sekelilingnya. Objek pertama yang tampak dimata jerninhnya adalah meja belajar dari kayu, dengan belasan buku yang menumpuk di atasnya. Sebuah gelas yang digunakan sebagai wadah alat tulis d sudut kiri, dekat sebuah bingkai foto kecil dari plastik berwarna bitu muda. Kalau tidak salah, itu adalah foto Alisa dengan tiga sahabatnya : Cika, Neysa, dan Deby. Ia memperhatikan lagi; ruangan tempat ia bangun berdindng kuning pucat, di sudut lain terdapat lemari pakaian dua pintu dari kayu lapis. Selain itu, di bawah ranjangnya, terhampar karpet bulu halus dengan corak kartun beruang madu. Beberapa buku lain berserakan di sana, beserta kemeja dan celana jins panjang yang tidak sempat ia bereskan sepulang dari kampus kemarin malam. Alisa menghela nafas; dia terbangun di kamarnya.
Bersamaan dengan nafas itu, sebersit rasa kecewa mengembun dalam dada Alisa. Sekali lagi, laki-laki itu menghilang bersama pagi dan terbukanya mata. Ia tak ubahnya hantu, yang menghilang setiap mentari menyelinap masuk melalui tirai kamarnya. Kini ia harus sabar menanti hingga hari berganti, saat matahari berganti shift dengan bulan, lalu tidur dan menemuinya kembali : Lelaki dengan raut wajah halus dan mata damai meneduhkan. 
Alisa dengan gontai bangkit keluar kamar, menuju westafel yang terletak persis di sisi luar dinding kamarnya. Bilasan air menyegarkan wajah dan matanya, namun belum menghapus gurat kusam dalam hatinya. Sesuatu masih tertinggal dalam alam mimpinya, mencabut semangatnya untuk beraktivitas hari itu. Ia angkat wajahnya, dan menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia punya struktur wajah yang pas, berhias alis tebal indah dan mata jernis, rambutnya hitam bergelombang indah; secara keseluruhan dia menarik, sangat cantik. Akan tetapi, gadis cantik ini tengah merana. Ia jatuh cinta, dengan sangat keras. Sebenarnya, tentu saja normal bagi gadis seusianya untuk mulai menyesap romantisme, dan mengalami sedikit kebingungan dalam menghadapinya. Tetapi, Alisa menghadapi masalah yang sedikit lebih rumit, karena ia jatuh cinta pada seseorang yang bahkan tidak ada dalam dunia nyata. Ia jatuh cinta pada seorang lelaki yang hidup dalam mimpinya.
Lelaki itu hadir sejak malam keduapuluh delapan di bulan Maret. Saat itu, Alisa ingat sebelum tidur, bulan purnama bertengger anggun di langit gelap. Alisa selalu menatap langit malam sebelum tidur, itu memberinya ketenangan sendiri. Pertama kali ia hadir, lelaki itu tengah bermain harmonika di sbuah bukit hijau sambil menghadap hamparan laut. Aneh, Alisa tidak ingat jelas bagaimana sisanya, tapi pemandangan itu selalu membekas dalam benaknya. Bahkan arah gerakan angin yang meniup rerumputan di kaki itu, hingga nada yang ia hanyutkan dalam telinga Alisa. Setelah itu, pada malam-malam berikutnya, lelaki itu terus hadir dalam mimpi gadis muda tersebut. Laki-laki dengan wajah lembut, namun menyimpan gurat kekuatan tersembunyi dalam dirinya. Matanya sering menatap langsung pada mata Alisa, menghunjamkan berbagai macam perasaan yang kerap kali masih membekas di dada Alisa hingga terbangun. Di dalam matanya, terpancar sesuatu yang misterius, kuat, dan siap memberontak. Sebuah kombinasi aneh jika disandingkan senyum tulusnya.
“Siapa namamu?” Alisa ingin sekali mendengarya, mengingatnya, dan menyebutnya dalam doa agar Tuhan mengakhiri penyiksaannya dengan menghadirkan laki-laki itu dalam dunianya yang nyata, dunia yang tak perlu menunggu malam datang. Namun, setiap kali ditanya demikian, laki-laki itu hanya dia sambil menyunggingkan senyum khasnya, lalu menggapai wajah Alisa, mengelus lembut pipi kanannya, dan kemudian tanpa tedeng aling-aling, menarik kepalanya sehingga bibir mereka beradu. Biasanya, Alisa akan langsung terbangun dengan panas yang membakar wajahnya. Saat ia mencoba tidur lagi, mimpi itu berakhir dan ia hanya berakhir pada sinar mentari yang memaksanya bangun. Lama-kelamaan, Alisa tidak perduli lagi dengan nama laki-laki tersebut. Meski ia tetap menanyakannya, hanya agar Alisa dapat merasakan sensasi singkat bibir lelaki tersebut.
Namun, malam itu sesuatu yang berbeda terjadi. Laki-laki itu mendadak dingin, seolah ia hadir hanya untuk mengacuhkannya. Sepanjang waktu, ia hanya berdiri menjaga jarak dan memunggunginya. Senyumnya tak lagi tampak, bahkan sentuhan tangannya pun tak lagi menggapainya. Malam-malam berikutnya, kejadian yang sama terulang. Laki-laki itu hadir, namun mengabaikan keberadaan Alisa di alam mimpinya sendiri. Sementara gadis itu eakan menjelma bak orang lumpuh, tak mampu melakukan apapun, bahkan sekedar memanggilnya dan menarik tangannya. Mereka selalu di tempat yang berjarak. Laki-laki itu juga tidak mencoba pergi, seakan mencoba untuk menambah siksaan bagi Alisa. Malam menjadi mimpi buruk baginya. 
“Lu kenapa?” Tanya Cika, sahabatnya yang berasal dari Jakarta. Gadis ramping bak boneka itu menyadari perubahan pada air muka Alisa beberapa hari terakhir ini.
“Gak papa… Kurang tidur aja.. hehe…” Ujar Alisa mencoba menutupi kegelisahannya yang tidak normal. Entah bagaimana pendapat Cika dan orang lain jika ia mengakui telah jatuh cinta pada seseorang yang hanya hidup dalam mimpi.  “Hmm… weekend besok mbolang aja gimana? Bareng anak-anak sama cowok-cowok lain”, ujar Cika. Kosakata gadis jakarta ini sudah bercampur aduk dengan budaya lokal akibat pergaulannya selama tiga tahun dengan arek asli Suroboyo di kampus. 
Alisa mengangguk seraya berucap, “Ikut aja”. Cika mengambil smartphone-nya seraya bergumam,”Sip.” Alisa kembali fokus pada layar laptopnya. Data, grafik, dan angka-angka yang melelahkan menjadi kencan makan siangnya. Diam-diam, gadis bersyukur pada Cika yang lupa mengerjakan tugas makalah ekonometrika kelompok mereka, dengan deadline presentasi nanti sore, setidaknya bisa memberi Alisa cukup pengalihan untuk menghindar dari laki-laki dalam mimpinya.
“Baca apaan?” Tanya Alisa seraya merapikan print-out makalah. Cika tampak fokus selama beberapa saat, kemudian melemparkan ekspresi tidak tertarik. 
Nothing. Cuma artikel biasa. Kamu tahu lucid dream?” Tanyanya Cika seraya mengambil dompet dari tas pinggang merah mudanya. Alisa mencoba mengingat sejenak, merasa pernah mendengar istilah tersebut.
“Kayaknya pernah.” Jawabnya singkat.
“Semacam fenomena psikologi gitu… katanya kalau bisa ngelakuin, kita bisa mengontrol mimpi kita sendiri.”Jelas Cika sembari membayar uang print pada petugas jaga.
Ah, Alisa ingat sekarang. Hal seperti itu sempat menjadi trend saat ia masih SMA. Beberapa temannya mengaku bisa melakukannya, dan efeknya luar biasa menyenangkan. Saat itu, Alisa tidak tertarik dan melupakannya begitu saja. 
“Ooo.. gitu..” Gumam Alisa. 
“Oke, yuk buruan, keburu Pak Hisam datang.”Ajak Cika. Alisa mengikutinya dari belakang. Tampaknya ia tahu yang harus dilakukan malam ini, untuk mengakhiri siksaannya.
Laki-laki itu masih mengacuhkannya. Kali ini, di sebuah taman dengan bunga-bunga cerah seperti musim semi yang pernah ia bayangkan. Ada seluncuran dan ayunan berwarna mencolok di dekat mereka, serta kotak pasir dan berbagai permainan lainnya. Alisa mengingat semuanya, dan mencoba sedapat mungkin menahannya. Ia meraba ke bawah ranjangnya, dan mengambil notes kecil coklat yang ia siapkan. Ditulisnya segala sesuatu yang ia impikan sedetil mungkin. Setelah itu, Alisa menenggak sedikit air mineral yang sudah ia siapkan, dan kembali tidur. Ia memejamkan mata seraya terus berupaya memvisualisasikan kembali seluruh hal yang dia ingat. Pikirannya fokus untuk melakukan lucid dream, sebuah teknik untuk mencapai kondisi psikis di mana kita mampu mengontrol mimpi. Lama ia berusaha fokus hingga akhirnya terlelap. Namun, sayangnya, yang ia lihat lagi-lagi hanyalah kegelapan.
Alisa mencoba melatih teknik itu berulang-ulang, meski harus menahan perih akibat pengabaian laki-laki tersebut. Dan akhirnya, di suatu malam, saat ia mencoba kembali tidur usai menulis jurnal mimpinya. ia merasakan perbedaan pada tidurnya. Alisa merasa ia tertarik dalam ke ranjangnya, sekujur tubuhnya mendadak kaku, dan punggungnya seperti diikat ke dasar ranjang. Tubuhnya makin lama terasa makin berat. Alisa mencoba tidak panik, seperti saran sebuah artikel yang baca tentang lucid dream. Ia yakin telah berhasil masuk ke satu tahap menuju keberhasilan, ia mengalami sleep paralyze. Mendadak seluruh gambaran yang ia bangun lebur seperti televisi rusak. Semuanya berubah jadi kabur, dan ia merasa beban tubuhnya melebihi apa yang bisa ranjangnya tampung, tubuh melesak jatuh jauh ke dalam sebuah lubang yang sangat dalam. Alisa semakin panik, kematian seakan menggapai jemarinya, dan ia nyaris tak mampu menahan teriakannya. Sekejap kemudian, tubuhnya berhenti, seakan telah mencapai dasarnya. Alisa tidak merasa membuka matanya, namun kegelapan itu perlahan-lahan memudar, dan berganti dengan pemandangan kamarnya. Ia coba gerakan tangannya, kakinya, semua bisa kendalikan. Lalu, ia tekan lubang hidungnya. Aneh, ia masih bisa merasakan airan udara, dan tidak merasa sesak. Ia cubit tangannya, pinggangnya, tidak sakit. Ia coba tendang salah satu kaki meja belajarnya, juga tidak nyeri. Alisa nyaris berjingkrak senang : Ia berhasil!! Ia ada dalam mode lucid dream!!
Alisa coba membayangkan kembali situasi terakhir ia bertemu laki-laki itu : Sebuah bukti hijau dengan sebatang pohon tua sebagai satu-satunya vegetasi berkayu di sana, dengan laut yang terhampar nun jauh sebelah timur. Alisa ingat itu adalah tempat pertama kali lelaki itu hadir dalam mimpinya, bersama alunan harmonika yang masih membekas. Beberapa saat kemudian, seperti berpindah dimensi, seluruh pemandangan kamarnya melebur dan berganti dengan hamparan rumput yang naik turun sepanjang mata memandang. Alisa membalik badan, laki-laki itu di sana. Dia berdiri di bawah rindang pohon tua di mana ia pernah menciumnya, masih menggenggam harmonikanya, dan kini, ia menghadapi dirinya kembali dengan senyum khasnya.
Desakan kegembiraan memenuhi dada Alisa. Dalam mimpi biasa, atau lucid dream degup jantung rupanya masih sama terasa, masih sama nyatanya. Gadis itu segera berlari mendekati lelaki yang telah ia rindukan senyumnya, hingga ia lupa dalam lucid dream, ia bisa mengatur dirinya untuk berada langsung tepat di samping kekasihnya. Tanpa menunggu lagi, Alisa melompat ke arah laki-laki itu, dan terjun ke dada bidangya. Dipeluknya erat tubuh laki-laki itu, kali ini, semuanya terasa nyata. Lucid Dream membuat laki-laki itu memang hadir sebagai mana manusia. Hangat tubuh kerasnya mengalir ke dada Alisa. Perempuan itu ingin ini berlanjut selamanya. Semakin nyata sensasi hangat itu, Alisa semakin mempererat pelukannya. Hidung Alisa menempel pada dada lelaki tersebut, dihirupnya kuat-kuat bau orang yang tak pernah bisa digapainya itu. Selama ini, hubungan mereka berjalan dengan tak adil. Jarak yang dihadirkan diantara mereka terlalu jauh untuk ditempuh dengan apapun, dan kekasihnya itu pasti telah jenuh dengan semua penghalang tersebut, sama seperti dirinya. Namun kali ini, semua sirna. Dengan lucid dream, ia bisa menggapai kekasihnya secara nyata, merasakan hangat tubuhnya, dan menghirup bau tubuhnya. Tanpa disadari, beberapa bulir air mata jernih yang panas mengalir turun.Alisa mendongak. Wajah lembut itu menatap langsung pada matanya, sama seperti dulu. Ia masih tersenyum, dan masih mengakibatkan kenaikan suhu pada wajah Alisa.
Setelah sekian lama berpelukan, Alisa mencoba mengajukan pertanyaan yang membuatnya tersiksa beberapa hari terakhir,
“ Kenapa tiba-tiba kau mengabaikanku?”
Laki-laki itu tersenyum. Alisa takut, ia hanya akan diam dan kemudian menciumnya untuk menghempaskannya kembali pada kenyataan. Tapi ternyata, untuk pertama kalinya, ia menjawab, dengan suaranya yang begitu dalam dan lembut,
“Aku tidak mengabaikanmu. Kau yang menjauhiku.”
Alisa tidak mengerti, “ Bukan. Kau yang memunggungiku. Kau mendiamkanku. Sementara aku tidak bisa bergerak, atau bahkan bersuara untuk memanggilmu…” 
“Benar, dan itu terjadi dalam mimpimu; mimpimu yang asli, dan itu artinya sesuatu dalam dirimu tidak ingin bicara denganku…” Ujar kekasihnya.
“Itu tidak masuk akal. Hanya aku dan Tuhan yang tahu betapa aku tersiksa tak mampu memanggilmu, dan melihat senyummu. Seluruh diriku merindukanmu…” Balas Alisa.
“Aku tidak ada kaitannya dengan logikamu, manis.” Ujar laki-laki berwajah lembut itu seraya kembali tersenyum. Perlahan, ia membelas rambut Alisa.
“Menurutmu, aku ini apa?mimpi atau kenyataan?” Tanya laki-laki itu. 
“Eh…uh….” Alisa benci pertanyaan itu. Ia pernah mengajukannya pada dirinya sendiri. Dan itu membuatnya seperti berada di depan mulut sebuah revolver.
“Aku adalah mimpimu, orang yang hidup dalam malam mu.” Jawab lelaki itu lagi. “ Namun, di saat yang sama, aku juga hadir dalam kenyataanmu…” Lanjutnya.
Alisa mengernyit. Apa maksudnya?
Kamu….” Belum sempat Alisa meneruskan, kekasihnya itu melanjutkan, “ Beberapa malam terakhir ini merupakan malam paling membahagiakan bagiku. Aku selalu mendengar suaramu; di pagi, siang, dan malam. Namun, kau tidak bisa, dan aku ingin kita bisa berbicara langsung. Karena itu kali ini, seperti bonus paling besar yang bisa kuterima…” Alisa menatapnya bingung, ia tidak suka dengan arah dari gaya bicara kekasihnya. Tangannya mencengkram erat lengan laki-laki itu.
“Dengar…” Lanjut laki-laki itu. “Aku akan selalu jadi kenyataanmu, karena takdir menuntunya seperti itu. Mulai saat ini dan seterusnya, aku akan menjadi bagian dari hidupmu. Tak ada hal lain yang bisa membuatku bersyukur lebih dari pada kenyataan itu….” Tangan laki-laki itu perlahan menyentuh dada Alisa. Sontak gadis sedikit bergidik. Namun entah kenapa, ia tidak ingin menolaknya. Kehangatan kekasihnya itu menjalar dengan kuat, dan Alisa merasakan energi kehidupan yang kuat mengalir masuk. 
“Mungkin kita tidak bisa bertemu lagi seperti ini lagi. Bagaimanapun, impian terakhirku sudah terpenuhi. Aku sudah bertemu denganmu…” Kata-kata itu mendadak menghentikan daya hidup Alisa. Ia mencengkram lengan kekasihnya lebih erat. Matanya kembali berkaca-kaca, dan sesuatu mendesak tubuhnya. Tubuhnya mendadak seperti ditarik oleh semacam kait yang menjerat punggungnya. Pemandangan bukit hijau, pohon tua, dan lautan biru perlahan mengabur. 
“Sudah waktunya…Sayang sekali, ya?” Gumam lelaki itu. Lenga Alisa mencengkram semakin erat, ia menatap wajah kekasihnya dan menggeleng-geleng cepat, menolak pergi. Ia tidak tahu apa yang terjadi.
“Kenapa?!! Kita baru… bertemu… aku baru mendengar suaramu…” Alisa berusaha memberontak dari kekuatan yang menarikya. 
“Ini memang permintaan terakhirku… Percayalah, aku akan merindukanmu…” Alisa yakin bisa melihat mata lelaki itu berkaca-kaca. Sementara itu seluruh pemandangan mereka kini sudah hilang total menjadi kegelapan, dan tarikan itu semakin kuat. Alisa tidak bisa menerima ini, setidaknya,
“Siapa namamu?” Tanya Alisa.
“Galih.” Jawab Laki-laki itu. Air matanya mengalir turun, dengan senyumnya yang masih mengembang. Akhirnya, Alisa tahu namanya.” Aku… aku Alisa…”
“Aku tahu…”, Alisa sudah tidak sanggup menahan tarikan itu lagi. Cengkraman tangannya semakin lemah. Sosok Galih seakan semakin pudar.
“Hey, Alisa, bisa minta tolong?” Tanya Galih.
“Apa?” Cengkramannya lepas. Tubuh Alisa tertarik.
“Tolong jaga jantungku baik-baik… kekasihku…” Dan sosok Galih menghilang, sementara tubuh Alisa tersedot oleh sebuah kekuatan yang begitu besar.

**** Pada tanggal 1 Maret 2016, Alisa yang telah lama mengidap kardiomiopati, sebuah kelainan pada otot kardiak jantung, menjalani operasi transpalasi jantungnya setelah sekian lama menunggu donor. Jantung tersebut berasal dari seorang mahasiswa muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor. Pemuda itu bernama : Galih Prakoso Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar