Senin, 31 Oktober 2016

Tangan Kurus Ibu

Ia menggapai diriku; tangannya sudah tak sama lagi sejak terakhir kami bertatap muka sepuluh tahun lalu. Entah kemana tangan tersebut pergi, yang pasti, waktu yang telah membawanya pergi. Ia kini tak ubahnya ranting kering yang berada diambang kematiannya, dengan tulang dan urat-urat yang menonjol dari balik kulit pucatnya. Aku diam terpaku memandangi tangannya yang bergetar mengambang di udara, perlahan mendekati tubuhku. Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi kondisi ini, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus mengingat tangan tersebut : sebagai kenangan indah, atau mimpi buruk.
Ingatan dan kenyataan, pasti memiliki rentang waktu yang berbeda. Jarak beberapa senti antara tangan lemah dengan tubuhku yang bisa ditempuh dalam beberapa puluh detik, rupanya memberiku cukup waktu untuk menggali kembali semua memori tentang pemilik tangan tersebut : Ibuku. Seorang wanita yang hadir dengan dua wajah berbeda dalam sejarah hidupku. Seulas senyum dan sekepal tinju, itu yang bisa kuungkapkan untuk merangkumyg sosok ibu.
Sepuluh tahun awal kehidupanku, ia kuingat sebagai perempuan berhati suci yang lembut membelai kepalaku setiap akan tidur, membuatkanku sarapan, dan menungguku pulang dari sekolah. Sepuluh tahun berikutnya, ia menjelma berubah jadi neraka bagi hidupku secara tiba-tiba. Ia mabuk, pulang menjelang pagi dalam keadaan nyaris tak mampu berdiri, dan barang-barang aneh mulai bertumpuk dalam rumah. Pakaian-pakaiannya berubah semakin terbuka dengan warna mencolok mata. Tiap hari, selalu ada pria-pria asing yang singgah, bahkan menginap di rumah. Mereka kebanyakan berperawakan besar dengan rayt wajah kasat. Mereka datang silih berganti, dengan rupa berganti-ganti. Namun, aku ingat ada satu orang yang berbeda. Ia adalah sesosok pria berukuran sedang, bahkan cenderung kecil, dengan kulit putih bersih, dan raut wajah halus. Sangat berbanding terbalik dengan pria lain di rumah itu. Aku ingat namanya Ikhsan. Om Ikhsan, aku memanggilnya. Aku mengenalnya sebagaI kenalan ibu melalui bisnis jual-beli batik online. Awalnya ia hadir sebagai pelanggan tetap, dan akhirnyaa berkembang jadi reseller paling produktif. Aku tidak pernah paham bagaimana alurnya, tapi jika aku boleh mengkaitkan, ayah dan ibu mulai sering bertengkar.
Akhirnya, kira-kira tepat empat bulan lima hari setelah ulang tahunku yang kesembilan, kedua orang tuaku resmi bercerai. Aku sudah cukup besar untuk mengetahui bahwa Om Ikshan berperan dalam perceraian ayah ibuku. Namun, rupanya aku masih tidak cukup tua bagi hakim pengadilan untuk membiarkanku tinggal dengan ayahku. Anehnya, ayah juga tidak terluhat sedih atau setidaknya memperlihatkan tanda-tanda ingin bertemu dan ingin mempertahanku. Sampai sekarang, aku masih bertanya, apakah ayah juga membenciku karena tidak melaporkan kedatangan Om Ikshan ke rumah tiap hari. Pada titik inilah, ibuku mulai berganti topeng.
Aku ingat pertama kali ia meninjuku pada saat hari ulang tahunku yang kedua belas. Itu karena,untuk pertama kalinya aku menentang dan mempertanyakan kepergiannya tiap malam, serta keberadaan Om Ikhsan. Aku tidak ingin terus berpura-pura bodoh dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan tiap malam di dalam kamar. Aku sudah mengalami menstruasi pertamaku, dan mendapat penjelasan singkat namun gamblang dari Bu Risyah, guru agama di sekolah tentang makna noda darah itu serta beban dosa yang mulai saat ini akan kutanggung sendiri. Diam-diam, aku bersyukur karena tidak lagi membebani ibu atau ayah dengan segala mmacam perbuatanku, apalagi dengan semua dosa yang sudah mereka lakukan. Saat pulang sore harinya, aku mendengar suara gemericik dari kamar mandi, tampaknya ibu sedang mandi. Aku meletakkan tas, membuka seragam dan rok biru tuaku, lalu berjalan menuju dapur untuk minum. Saat aku hendak menenggak air dingin itu, pintu kamar mandi terbuka. Dari dalam, keluar sosok ibu dengan tubuh berbalut handuk, dan dibelakangnya diikuti sosok kurus Om Ikshan yang telanjang bulat.
Aku terhenyak.
Rasa hausku menghilang, dan keringnya tenggorokan kukompensasi secara alamiah dengan menelan air liur. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dan tampaknya mereka berdua juga merasakan hal yang sama. Pada akhirnya, Om Ikhsan memilih untuk menyapaku duluan, memecahkan keheningan.
“Sejak kapan pulang, Rina?” Nadanya jelas menunjukkan kecanggungan. Matanya pun tidak berani menatap langsung padaku. Aku yang tidak tahu harus bertindak apa, akhirnya juga menjawabnya dengan nada sama canggungnya, “Barusan om… anu…”
Belum sempat aku bicara lebih lanjut, ibuku menarik tangan Om Ikhsan dengan kasar, dan menyeretnya menuju kamar. Ia melengos melewatiku. Harum sabun yang khas semerbak menyerang hidungku. Aku memandanginya, tanpa berkata apapun. Lalu, sebelum ibu membuka pintu kamarnya. Ia berucap dingin, “Pakai baju.” Saat itulah, aku sadar hanya mengenakan mini set dan celana dalam.

Malamnya, saat Om Ikshan tidak ada di rumah, (entah kenapa, aku tidak berani mengungkapkan langsung pada Om Ikhsan) aku mengajukan keberatanku pada Ibu. Aku memprotes semuanya, dan tanpa sadar, aku aku mengeluarkan semua yang ada dalam pikiranku selama ini, sejak perceraian mereka berdua. Aku mengeluarkan semuanya, dan jika kuingat lagi, aku tidak pernah bicara dengan muatan emosi sebanyak itu lagi disepanjang sisa hidupku. Kukira cukup lama aku bicara, dan selama itu Ibu terdiam. Setelah aku berhenti kehabisan nafas, Ibu mendekat, dan masih tanpa bicara apapun, tinju Ibu mendarat keras di pipi kananku. Aku sontak terjerembab ke belakang. Tubuhku jatuh tersungkur di lantai yang dingin, dan pipi kananku terasa sebah. Aku merabanya, perih. Aku melemparkan pandang tepat ke mata Ibuku, mencoba mengerti maksud dari tinju itu. Namun, aku tidak melihat tanda-tanda apapun seperti air mata penyesalan atau rasa bersalah dari sepasang mata wanita paruh baya itu. Perlahan-lahan, sisa emosi yang meluap-luap di dadaku tadi mengendap dan mengeras. Ia menutup sesuatu yang dalam diriku, dan sisa yang belum sempat membeku, mendesak keluar melalui mata dalam bentuk beberapa bulir cairan sebening embun. Setelah ditelan keheningan sesaat, Ibuku berjalan masuk ke kamar. Meninggalkan aku yang masih tergeletak dilantai rumah, yang kurasa semakin dingin.
Rupanya, itu adalah tinju pertama yang Ibu layangkan padaku. Sejak malam itu, setiap kali Ibu melihatku sedang bersama dengan Om Ikshan, ia akan menyeretku ke kamar dan akan menghajarku. Aku tidak tahu apa penyebabnya, mungkin cemburu. Ibu pasti sudah gila, pikirku. Aku tidak pernah berani pergi ke rumah Ayah, karena aku mengira ia masih membenciku. Hari demi haripun kulewati, dan aku tumbuh dengan memendam semua rasa sakit di tubuhku akibat tinju Ibu, serta sesuatu yang terus mengeras dalam dadaku. Satu-satunya yang bisa kulakukan untuk mengurangi resiko tertinju Ibu adalah menghindari Om Ikhsan sebisa mungkin, meskipun anehnya, kami selalu berakhir bertemu dalam suatu ruang; dan itupun tidak lama, karena Ibu segera tahu dan langsung menyeretku.
Hal itu berlangsung hingga aku berusia 17 tahun, saat tubuhku tidak lagi kuat menanggung rasa sakit, dan memutuskan pergi dari rumah. Keputusan itutu dipicu oleh sebuah kejadian di malam hari, sepuluh tahun lalu. Saat itu, sekitar delapan pria asing lagi-lagi berkumpul di rumah. Kali ini mereka menyetel musik dengan irama menghentak ala clubhouse sambil membakar benda semacam serbuk yang menghasilkan asap putih tebal. Aku mengurung diri di kamar hingga akhirnya terlelap tanpa perduli dengan beat musik tersebut. Dalam lelap, aku bermimpi buruk. Seekor ular besar hitam, sepanjang kira-kira delapan meter mengejarku dalam kegelapan hutan, yang pekat. Ia bergerak dengan cepat seakan kerikil, bebatuan, dan ranting hutan tak menjadi halangan bagi laju melatanya. Aku mencoba berbelok tajam di tengah laju lari, berharap kecepatannya tak mampu mengikuti manuver tubuhku. Namun ternyata sia-sia. Ia adalah makhluk yang dirancang untuk memangsa hewan-hewan yang memiliki kelincahan lebih tinggi daripada manusia. Aku tertangkap. Tubuh besarnya melilitku cukup keras, hingga aku dapat merasakan dingin dan licin kulit ularnya. Nafasku sesak. Ia menggesek-gesekkan tubuhnya padaku. Gerakannya begitu teratur, dan anehnya, seperti berirama. Benturan kulit kasarnya dan kulit remajaku menghasilkan sensasi ganjil yang menjalar di bagian dalam tubuhku. Rasa geli di bagian-bagian sensitif tubuhku meningkat, dan menghasilkan sesuatu seperti sengatan listrik yang kemudian menyerang otakku. Aku mengejang, ototku menegang, dan nafasku semakin sesak. Sesuatu mendesak dari bagian bawah tubuhku. Aku berada dalam dilema, di sisi lain aku tidak ingin mengakhiri sensasi tubuh ini, dan di saat yang sama, akal sehatku mulai bekerja dan mendesakku untuk lepas.
BRAKK!!
Sebuah suara benturan yang keras membangunkanku secara paksa dari dilema. Kesadaranku seperti ditarik cepat untuk kembali ke dalam ragaku. Saat kubuka mataku, kudapati sosok Om Ikhsan yang bertelanjang bulat tengah menindihku, dengan wajahnya tepat di atas dadaku yang telah terekspos. Aku terkejut, tanpa bisa mengucapkan apapun. Aku menarik selimut dan menutup dadaku secara reflek. Mataku kemudian beralih ke arah pintu, di sana Ibuku juga dalam kondisi hanya berbalutkan selimut berdiri dengan mata meradang ke arahku. Di belakangnya ada seorang pria besar dengan hanya mengenakan celana dalam. Keliatannya, mereka hendak bercinta, saat sesuatu mengganggu Ibu, dan ia merangsek masuk kemari.
Ibu melangkah cepat, menarik Om Ikhsan, dan tanpa sempat kutahan, sekali lagi tinjunya melayang pada pipi kananku. Seperti biasa, aku tidak mengukapkan apapun. Namun, emosi sekali lagi mendidih dalam dadaku. Aku bangkit, mengenakan kembali kaosku, mengambil tas besar warna biru, mengemasi berbagai barang yang bisa kuambil, dan melangkah keluar dari kamar. Saat aku melewatinya, aku berhenti, menatap matanya dengan pandangan paling tajam yang pernah kuberikan pada orang lain. “Pelacur…”, ujarku padanya. Setelah itu, aku pergi, dan bersumpah tidak akan menoleh kebelakang lagi.
Setelah itu, realitas kembalI merebutku ke bilik kamar rumah sakit ini. Tangan kurus itu telah menggapaiku. Jemari telunjuk dan ibu jarinya menggantung lemah di kemeja putih yang kukenakan. Aku menguatkan diri, memandangi wajahnya, dan masih tak tahu wajah ibu yang mana yang harus kuingat. Kulemparkan mataku dari raut tua Ibu menuju jendela yang tembus ke halaman parkir rumah sakit. Di sana seharusnya Dinda menunggu dalam mobil sedan putihnya. Setelah kecupan singkat untuk pamit, aku berjanji akan tidak lama. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 lewat 8 menit. Sudah sepuluh menit lebih aku berada di sini, lebih lama dariperkiraanku yang yakin hanya butuh dua menit untuk sejenak melihat wajahnya dan pergi.
Dari jendela, aku kembali menatap wajahnya. Pada saat itulah, untuk pertama kali setelah dua puluh tahun, aku melihat Ibu tersenyum padaku. Seulas senyum yang tergurat lemah, dan dengan jelas menandakan akhir kehidupan yang semakin dekat menyapa. Tangannya masih gemetar, namun berusaha untuk tetap menggantung pada kemeja putihku. Sebuah perasaan yang tak mampu kujelaskan menyergapku. Tanpa perintah, aku menggenggam tangan Ibu dengan lembut, mengangkatnya perlahan dan menciumnya.
Terkejut dengan tindakanku sendiri, aku memilih perasaanku yang telah lama mengeras menuntun diriku. Kuciumi dan kuhirup bau tangan Ibuku, seakan aku hendak menyerap semua yang tersisa dari energi kehidupannya yang mulai redup. Aku ingin mengingat bau ini, bau orang yang pernah kutahu pernah menyayangiku, setidaknya di masa awal kehidupanku. Setelah tangannya, aku mendekat dan kuciumi wajah Ibu; pipi dan dahi, kukecup mereka bergantian dengan lembut berkali-kali. Tanpa sadar, air mataku mengalir membasahi wajahnya. Ia tidak menolak, atau mungkin tak ada kekuatan untuk menolak. Aku menangis, setelah sekian lama, dihadapan orang yang kuanggap neraka. Aku menangis begitu keras, hingga tak mengeluarkan suara apapun. Air mata ini adalah lelehan batu yang mengendap sekian tahun, dan hadir sebagai banjir.
Sambil menangis, aku mencoba berargumentasi dengan kebencian dalam diriku ; pada akhirnya, aku tetap tidak memaafkannya. Namun, aku juga menolak untuk mengenangnya sebagai sekepal tinju, maupun seulas senyum. Ini semata demi keadilan. Aku akan menghapusnya, dan untuk kebaikan kami berdua, terutama diriku, aku akan coba mengingatnya sebagai manusia yang sama : dua wanita berdosa yang mencoba mengisi salah satu babnya dengan keindahan. Dan manusia itu, bagaimanapun, adalah Ibuku.
Saat jam kunjungku berakhir, aku melangkah gontai dengan sesuatu yang hilang dalam diriku. Aku berjalan dengan pandangan yang menerawang pada langit-langit lorong rumah sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar