Rabu, 04 November 2015

D'Journal page 3

Kota Udang, 4 November 2015

Sejak kecil, aku punya kebiasaan buruk, yaitu mudah bosan. Aku adalah pembosan yang sangat parah. Kata dokter, sudah stadium empat. Akut banget. Dan kalau lagi kambuh, tingkat kemalasanku bisa mengalahkan koala. Serius.

Pernah suatu hari, saat masih kelas 3 SD, beberapa minggu menjelang UTS, penyakit bosan ku kambuh. Akibatnya, aku merengek pada Mama untuk dibiarkan bolos sekolah selama satu minggu.

Karena bagi Mamaku gak ada yg lebih penting daripada kebahagiaan anak bungsunya, maka didatangilah dokter langganan keluarga saat itu, yaitu dokter Dewi. Keluargaku sering banget berobat ke dokter Dewi, dan lebih dari itu, ikatan diantara kami udah kayak saudara sendiri. Orangnya asik dan ramah. Jadilah, dengan sekotak kue bolu coklat favorit Dokter Dewi dan selembar amplop, ditambahi bumbu persaudaraan, surat rekomendasi untuk beristirahat selama seminggu berhasil kudapat. Saat itu, memang relatif mudah dapat surat2 semacam itu secara ilegal. Hehehe

Penyakit bosan itu semakin lama semakin meradang saat aku tumbuh dewasa. Waktu SMP, aku gabung dengan eskul PMR. Alasannya simpel, aku cuma pingin dapet slayer biru gelap berhias pinggiran kuning emas dengan lambang palang merah di leherku. Bonusnya, bisa bolos upacara waktu males.

Cewek? Waktu itu belum kepikiran. Maklum, belum akil baliq.

Aku bertahan cuma satu tahun. Tahun kedua, aku mulai ogah-ogahan ikut latihan mingguan. Udah jadi senior, tapi malah tambah males. Alhasil, sedikit junior yg kenal denganku. Pas-pasan di koridor  pun hanya disapa dengan angin bertiup (baca:lewat aja) Yaaa..biarlah

SMA, aku kembali ikut PMR. Kali ini dengan tujuan mulia : mengakhiri masa jomblo.
Sayangnya, sekali lagi, aku cuma bertahan 1 tahun lebih 2 bulan. Tepat setelah Probo, salah satu sahabatku saat kelas 10, pindah ke SMA di surabaya, aku kehilangan mint di organisasi. Ditambah lagi, Adit, sahabatku yg lain juga mulai jarang muncul di PMR. Rasanya waktu itu udah gak ada lagi yg perlu aku lakuin di PMR, dan aku pun mulai sering bolos.

Saat kuliah, semuanya masih tetap sama. Aku sekarang masih resmi menjabat sebagai manajer HRD di sebuah organisasi kajian ekonomi syariah di fakultas, sekaligus ketua koperasi jurusan. Tapi keduanya, hanya bertahan kurang dari satu tahun. Kebosanku dtang lebih cepat dari sebelum-sebelumnya, dan bahkan kini jauh lebih parah. Aku sebisa mungkin, menghindar dari dari jadwal rapat atau sekedar kumpul. Aku bahkan tidak hadir di acara2 organisasi, dan menolak jadwal kajian.

Kosekuensinya, aku banyak digunjingkan oleh teman2 kampus. Aku tidak tahu bagaimana harus merespon. Rasanya, jelas tidak enak sama sekali. Aku menghindari pertemuan dengan teman2 di organisasi karena masih ada rasa bersalah. Namun, tetap saja, bagaimanapun aku memaksa, pikiranku benar-benar menolak dengan keras. Malessssss bangettttt. Sumpah.

Aku memilih pasrah. Kalau digunjingkan ya silahkan, toh aku juga salah. Mungkin aku akan mengundurkan diri dari organisasi itu secepatnya.

Apa alasanku malas melakukan semuanya? Sekali lagi, karena bosan. Bosan yang sangat parah. Semua aktifitas itu, rapat, kajian, jadi panitia, dan aktifitas organisasi lainnya, sudah tidak menawan lagi di mataku. Bisa dibilang, gak ada makna di depanku. Kosong. Hampa. Semua tampak sama saja. Bertemu dengan karakter2 berbeda dengan pola tertentu. Mengalami fase yg sama. Merepotkan.

Saat sudah sampai pada tahap kebosanan ini, aku lebih memilih tidur di rumah dan mengurung diri berhari-hari.

"Kedewasaan manusia dilihat dari keikhlasannya melakukan sesuatu untuk orang lain. Sementara orang yang masih melakukan sesuatu berdasar dia suka atau tidak, berarti dia manusia yang masih anak-anak." Kira2 seperti itu quote yg aku baca dari H. Emha Ainun Nadjib. Membacanya, aku sedikit tersentuh. Berarti dalam tubuh yang sudah beranjak pada usia keduapuluh ini, tersimpan jiwa bocah kecil yang suka berkelakar liar.

Buruk? Mungkin. Tapi kurasa aku baik-baik saja dengan jiwa anak kecil dalam tubuhku. Aku tidak cocok dengan tanggung jawab yg mengharuskanku melakukan sesuatu yg tidak menarik. Aku bisa lemas.

Sebaliknya, ada satu kegiatan yg sampai sekarang masih mempan dari penyakit bosan, yaitu membaca.

Hobi simpel yg sudah kulakoni sejak kecil ini merupakan satu dari sedikit hal konsisten dalam hidupku. Komik, novel, buku pelajaran, biografi, agama, filsafat, cerpen, puisi, dan buku bacaan apapun merupakan sasaran baca yg menyenangkan. Semakin lama, ada sesuatu yang mulai kusadari di balik konsistensiku ini. Akhirnya aku tahu, aku sudah jatuh cinta.

Ya. Jatuh cinta. Dengan buku.

Kerennn... waktu menyadarinya, aku memahami makna kekuatan mencintai.

Di kamarku, di setiap sudutnya, tersusun rapi jejeran buku dan komik yang kukoleksi sejak SMA. Beberapa yg tidak mendapat tempat dalam rak ku yang terbatas, menjadi tumpukan tinggi di dekat kasur. 

Setiap hari, aku menghabiskan hari dengan buku2 itu. Kebiasaan ini membawaku pada mimpi untuk bisa mendirikan perusahaan penerbitan dan retail buku raksasa sekelas gramedia. Amieennn....

Kekuatan cinta berhasil menembus tembok tebal yang dibangun oleh penyakit bosanku. Aku terharu saat memikirkannya, sekaligus merasa kotor, karena kemungkinan besar rasa cinta ini telah membuatku jadi fetish terhadap buku.

Aku belajar sesuatu dari perasaan ini. Motivasi terbesar adalah cinta. Kekuatan mencintai cukup kuat untuk mengubah fiksi menjadi realitas. Aku belajar bahwa saat kita memiliki keterbatasan sebesar apapun, perasaan bahagia merupakan faktor utama penentu kesuksesan apa yang kita lakukan. Aku jarang menemukan perasaan bahagia saat melakukan semua kegiatan organisasi, dan aku menemukannya dalam kegiatan membaca dan menulis. Rasanya luar biasa. Rasa yang luar biasa itu yang akan membawa pada hasil yang luar biasa pula.

Mungkin, semua manusia seharusnya bertindak seperti ini. Bergerak dengan rasa bahagia, dan melakukan apa yang benar-benar mampu membuatnya jatuh cinta, bukan dengan tanggung jawab terpaksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar