Minggu, 01 November 2015

Lelaki Yang Menjadi Dewasa



Setelah melampiaskan hasratku, aku bangun dan duduk menghadap meja belajarku. Sembari menghabiskan sedikit demi sedikit sisa nasi goring mawut peda di depanku, aku merenungi diri sendiri. Pertanyaan besar tentang siapa aku.

Siapa aku?

Sedikit rasa senang sekaligus perasaan sangat malu menggerayangi dadaku. Sedikit senang, karena aku mampu menjalin satu persatu mozaik diriku yang terpencar-pencar. Sangat malu, karena aku baru melakukannya di usia yang hampir menginjak dua puluh tahun, dan dalam keadaan sehabis melakukan itu.
Merangkai kembali, membuat semuanya, tentang diriku, menjadi masuk akal, sekaligus aneh.
Aku mendapati diriku telah berubah drastic, dari SMP hingga SMA. Perubahan yang terjadi tidak searah, namun beralianan., bahkan bertentangan. Seakan-aan ada sebagian diriku yang dijebol dan ditambal, dirombak dan dibangun, atau sekedar dicat ulang.


Aku masih ingat bahwa aku yang dulu, saat SMP sampai SMA, adalah siswa pasif, dan cenderung mengalah. Aku enggan mengajukan penolakan, bahkan pada saat yang diperlukan. Aku benci konflik, dan percaya bahwa hidup dengan ideologi dan semangat optimistis dapat menarik banyak dukungan serta membawaku mencapai impian dan kedamaian. Jika dibaca lagi, ini agak mirip dengan karakter anime Naruto, dan memang benar, masa kecilku penuh dengan imajinasi tokoh tersebut. Berbeda dengan kebanyakan teman-temanku yang berkelakar bahwa anime itu terlalu banyak bicara daripada bertarung, aku justru lebih menyukai kondisi tersebut. Aku jauh lebih suka saat adegan yang menayangkan masa lalu karakter, kesedihan, dan dialektika antar tokoh, daripada adegan pertarungan tidak jelas dan, menurutku sama saja seperti adegan pertarungan lainnya.

Masa lalu itu berlalu, dan dalam beberapa tahun kemudian, aku mendapati kembali diriku ada di tempat gelap ini dan berucap,

“Aku tidak percaya pada ideologi”

Benar. Itulah tepatnya yang aku katakan. Bukan itu saja, aku tidak lagi percaya revolusi (Meski masih ada harapan untuk reformasi), soliditas, militansi, atau gerakan, terutama gerakan mahasiswa. Aku tidak percaya pada gerakan mahasiswa. Aku tidak percaya pada gerakan massa dan kemauan bersama mampu membawa perubahan berkelanjutan yang berdampak positif. Perubahan cepat yang didorong hasrat mayoritas masyarakat, sejauh yang aku amati dari sejarah, tidak pernah berefek baik. Reformasi ‘98(Lebih tepat disebut revolusi ’98), revolusi Perancis, revolusi Boshelvik, revolusi NII, dan juga ratusan revolusi lain yang digencarkan oleh suku-suku atau kelompok militant di daratan Afrika.  Secara konseptual, cerita-cerita seperti itu terdengar indah dan dramatis. Namun, dalam kenyataannya, ia penuh luka.

Soliditas, militansi, gerakan, semuanya, di depan diriku yang sekarang, tidak lebih dari pemanis pidato dan orasi perjuangan yang dilontarkan seseorang dengan kemampuan, pengalaman, performa, dan karisma tinggi untuk menghasut ratusan ribu tubuh tanpa pemahaman mendalam mengenai apa yang diteriakkan dari mulut mereka. Dalam teori sosiologi dan politik, mereka, ribuan dan ratusan ribu orang yang berdiri di bawah terik matahari siang, berikat kepala, mengangkat tangan kirinya, beteriak, hanyalah sekumpulan massa mengambang. Cukup dengan uang, todongan laras senjata, atau bujuk rayu tak pasti, mereka akan mengendur dan akhirnya membubarkan diri.

Begitu pula dengan ideologi. Sebut saja : kapitalisme, sosialisme, fundamentalisme,  enviromentalis, isolasionisme, atau apapun itu, hanya berupa omong kosong di hadapanku. Membaca sejarah peradaban, akan membuat kita sedikit memahami bahwa seluruh ideologi itu memiliki tuan yang sama : Ego.

Ideologi hanyalah merek dagang yang digunakan untuk menciptakan diferensiasi yang menjujung tinggi persepsi masing-masing. Diferensiasi menciptakan perbedaan sebagai alasan kuat yang mendasari perang dan konflik selama ratusan tahun di Bumi, menjustifikasi invasi pada tanah air suatu bangsa, invasi pada sumber daya alam milik bangsa lain, dan menciptakan kutukan ketidakadilan yang melingkari umat manusia.

Alasan yang melatarbelakangi pemahamanku itu, mungkin, dimulai setelah aku menyadari bahwa aku adalah manusia biasa. Bertahun-tahun aku menghabiskan masa kecilku dengan imaji bahwa saling mengerti akan menyatukan orang-orang dan menciptakan sesuatu yang disebut perdamaian. Bertahun-tahun aku hidup dengan keyakinan bahwa aku memiliki takdir istimewa untuk orang-orang disekitarku, membawa perpaduan fatamorgana itu ke masyarakat, dan menghadapi fakta bahwa itu semua cuma sampah. Kekecewaan, luka, dan penderitaan membawaku pada tingkat kesadaran bahwa orang tidak dapat dipaksakan, dimengerti, atau dikasihi. Ketika kita memberikan kasih, berharap, percaya secara buta, kita akan berakhir dengan menerima pengkhianatan dan kebengisan yang terselubung senyum. Kita diminta untuk saling memaafkan, tapi perasaan itu tidak pernah benar-benar hadir dalam diri seseorang. Selalu akan ada luka, dan itu akan terus menjadi borok yang perih saat disentuh, dan akhirnya menjadi bagian dari diri kita yang mati rasa. Perasaan itu, tanpa sadar, membentukku menjadi pribadi yang sangat benci kalah. Aku menolak disepelekan, dianggap bodoh, dan orang tidak berguna yang lemah. Aku mencari linkunganku sendiri, yang mampu membuatku merasa superior dan pelan-pelan mencoba membangun kekuatan. Ketidakperdulianku terhadap kepentingan orang lain semakin meningkat, dan perlahan-lahan, mungkin aku akan semakin mirip seorang fasis.  

Hahh….

Aku mengambil HP dan membuka aplikasi chat. Ibu jari kananku bergerak-gerak, menggeser nama-nama yang muncul, menatapi wajah-wajah di profile picture satu persatu dengan cepat. Lalu, aku berhenti pada satu akun : Dina Nahda Yanianti. Dina.

Kubuka akun itu dengan sedikit sentuhan jari. Kubuka avatarnya. Foto seorang gadis cantik. Ia berjilbab, tapi masih dapat kuingat dengan jelas rambut ombak lembutnya yang berwarna hitam mengkilap. Wajahnya masih putih lembut serupa cahaya purnama. Senyumnyapun masih sama. Dan matanya…. Masih sempurna. Masih menghancurkan. Sama seperti saat aku melihatnya pertama kali di kelas kursus sembilan tahun lalu.
Mata Dina adalah pusat daya tariknya, dan sekaligus pusat kehidupanku. Aku jatuh cinta padanya, begitu dalam, tepat pada saat sepasang mata itu menatapku di kelas kursus untuk megiktui ujian masuk SMA. Sejak itu, hidupku adalah tentang kesempurnaan dan kebaikan. Mimpi menciptakan kehidupan sempurna untuk diriku dan perempuan bermata teduh layaknya telaga subuh itu.   

Hahh….

Kupandangi lama foto itu. Dina tak sendiri, dan kurasa tak kan pernah sendiri lagi. Di fotonya tampak seorang pria berwajah segar nan teduh, dengan sepasang alis mata tebal seperti karpet beludru, dan kedua mata yang jernih dan tenang. Sungguh kombinasi yang sempurna dengan sepasang mata teduh milik Dina. Mereka cocok, dan kurasa pernikahannya kemarin sangat menujukkan kebahagian mereka.

Kurasa sudah saatnya menjadi dewasa. Aku berbalik pulang, bahkan saat tapak kaki ini baru menginjak lantai aula pernikahan. Aku akan menjadi dewasa. Berubah. Menjadi dewasa berarti melepaskan masa lalu untuk bisa maju. Menjadi dewasa berarti berhenti membual. Menjadi dewasa berarti berhenti bergerak, dan segera mencari tempat aman untuk berdiam. Menjadi dewasa berarti behenti bodoh. Menjadi dewasa, berarti berhenti percaya pada kahayalan.

“Jika saat itu aku cukup berani untuk bersamamu, apakah aku akan masih tetap percaya?”
“Jika saat itu aku memperjuangkanmu, apakah aku akan tetap bergerak?’
“jika saat ini… kau ada di sampingku, apakah semua akan tetap sama ?”

Aku mendapati diriku kembali di kamarku yang gelap. Hari sudah lama terlelap. Tanganku kananku bergerak mendekati daerah sensitifku. Dengan kasar, aku menggesek-geseknya. Sangat kasar. Semakin kasar, aku dapat merasakan kehadiranu. Semakin nyata. Semakin dekat.

Aku tidak kuat. Semua keluar begitu saja. Dosa itu mengalir perlahan, menghanyutkan bayang dirimu yang kemudian semakin menjauh, menatapku tanpa ekspresi. Dengan sisa tenaga, aku berusaha meraihmu. Namun, kau… semakin jauh dan samar.

Haa…. Aku memang tolol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar