Setelah
melampiaskan hasratku, aku bangun dan duduk menghadap meja belajarku. Sembari
menghabiskan sedikit demi sedikit sisa nasi goring mawut peda di depanku, aku
merenungi diri sendiri. Pertanyaan besar tentang siapa aku.
Siapa
aku?
Sedikit
rasa senang sekaligus perasaan sangat malu menggerayangi dadaku. Sedikit
senang, karena aku mampu menjalin satu persatu mozaik diriku yang
terpencar-pencar. Sangat malu, karena aku baru melakukannya di usia yang hampir
menginjak dua puluh tahun, dan dalam keadaan sehabis melakukan itu.
Merangkai
kembali, membuat semuanya, tentang diriku, menjadi masuk akal, sekaligus aneh.
Aku
mendapati diriku telah berubah drastic, dari SMP hingga SMA. Perubahan yang
terjadi tidak searah, namun beralianan., bahkan bertentangan. Seakan-aan ada
sebagian diriku yang dijebol dan ditambal, dirombak dan dibangun, atau sekedar
dicat ulang.
Aku
masih ingat bahwa aku yang dulu, saat SMP sampai SMA, adalah siswa pasif, dan
cenderung mengalah. Aku enggan mengajukan penolakan, bahkan pada saat yang
diperlukan. Aku benci konflik, dan percaya bahwa hidup dengan ideologi dan
semangat optimistis dapat menarik banyak dukungan serta membawaku mencapai
impian dan kedamaian. Jika dibaca lagi, ini agak mirip dengan karakter anime
Naruto, dan memang benar, masa kecilku penuh dengan imajinasi tokoh tersebut.
Berbeda dengan kebanyakan teman-temanku yang berkelakar bahwa anime itu terlalu
banyak bicara daripada bertarung, aku justru lebih menyukai kondisi tersebut.
Aku jauh lebih suka saat adegan yang menayangkan masa lalu karakter, kesedihan,
dan dialektika antar tokoh, daripada adegan pertarungan tidak jelas dan,
menurutku sama saja seperti adegan pertarungan lainnya.
Masa
lalu itu berlalu, dan dalam beberapa tahun kemudian, aku mendapati kembali
diriku ada di tempat gelap ini dan berucap,
“Aku
tidak percaya pada ideologi”
Benar.
Itulah tepatnya yang aku katakan. Bukan itu saja, aku tidak lagi percaya
revolusi (Meski masih ada harapan untuk reformasi), soliditas, militansi, atau gerakan,
terutama gerakan mahasiswa. Aku tidak percaya pada gerakan mahasiswa. Aku tidak
percaya pada gerakan massa dan kemauan bersama mampu membawa perubahan
berkelanjutan yang berdampak positif. Perubahan cepat yang didorong hasrat
mayoritas masyarakat, sejauh yang aku amati dari sejarah, tidak pernah berefek
baik. Reformasi ‘98(Lebih tepat disebut revolusi ’98), revolusi Perancis,
revolusi Boshelvik, revolusi NII, dan juga ratusan revolusi lain yang
digencarkan oleh suku-suku atau kelompok militant di daratan Afrika. Secara konseptual, cerita-cerita seperti itu
terdengar indah dan dramatis. Namun, dalam kenyataannya, ia penuh luka.
Soliditas,
militansi, gerakan, semuanya, di depan diriku yang sekarang, tidak lebih dari
pemanis pidato dan orasi perjuangan yang dilontarkan seseorang dengan
kemampuan, pengalaman, performa, dan karisma tinggi untuk menghasut ratusan
ribu tubuh tanpa pemahaman mendalam mengenai apa yang diteriakkan dari mulut
mereka. Dalam teori sosiologi dan politik, mereka, ribuan dan ratusan ribu
orang yang berdiri di bawah terik matahari siang, berikat kepala, mengangkat
tangan kirinya, beteriak, hanyalah sekumpulan massa mengambang. Cukup dengan
uang, todongan laras senjata, atau bujuk rayu tak pasti, mereka akan mengendur
dan akhirnya membubarkan diri.
Begitu
pula dengan ideologi. Sebut saja : kapitalisme, sosialisme,
fundamentalisme, enviromentalis,
isolasionisme, atau apapun itu, hanya berupa omong kosong di hadapanku. Membaca
sejarah peradaban, akan membuat kita sedikit memahami bahwa seluruh ideologi
itu memiliki tuan yang sama : Ego.
Ideologi
hanyalah merek dagang yang digunakan untuk menciptakan diferensiasi yang
menjujung tinggi persepsi masing-masing. Diferensiasi menciptakan perbedaan
sebagai alasan kuat yang mendasari perang dan konflik selama ratusan tahun di
Bumi, menjustifikasi invasi pada tanah air suatu bangsa, invasi pada sumber
daya alam milik bangsa lain, dan menciptakan kutukan ketidakadilan yang
melingkari umat manusia.
Alasan
yang melatarbelakangi pemahamanku itu, mungkin, dimulai setelah aku menyadari
bahwa aku adalah manusia biasa. Bertahun-tahun aku menghabiskan masa kecilku
dengan imaji bahwa saling mengerti akan menyatukan orang-orang dan menciptakan
sesuatu yang disebut perdamaian. Bertahun-tahun aku hidup dengan keyakinan
bahwa aku memiliki takdir istimewa untuk orang-orang disekitarku, membawa
perpaduan fatamorgana itu ke masyarakat, dan menghadapi fakta bahwa itu semua
cuma sampah. Kekecewaan, luka, dan penderitaan membawaku pada tingkat kesadaran
bahwa orang tidak dapat dipaksakan, dimengerti, atau dikasihi. Ketika kita
memberikan kasih, berharap, percaya secara buta, kita akan berakhir dengan
menerima pengkhianatan dan kebengisan yang terselubung senyum. Kita diminta
untuk saling memaafkan, tapi perasaan itu tidak pernah benar-benar hadir dalam
diri seseorang. Selalu akan ada luka, dan itu akan terus menjadi borok yang
perih saat disentuh, dan akhirnya menjadi bagian dari diri kita yang mati rasa.
Perasaan itu, tanpa sadar, membentukku menjadi pribadi yang sangat benci kalah.
Aku menolak disepelekan, dianggap bodoh, dan orang tidak berguna yang lemah.
Aku mencari linkunganku sendiri, yang mampu membuatku merasa superior dan
pelan-pelan mencoba membangun kekuatan. Ketidakperdulianku terhadap kepentingan
orang lain semakin meningkat, dan perlahan-lahan, mungkin aku akan semakin
mirip seorang fasis.
Hahh….
Aku
mengambil HP dan membuka aplikasi chat. Ibu jari kananku bergerak-gerak,
menggeser nama-nama yang muncul, menatapi wajah-wajah di profile picture satu persatu dengan cepat. Lalu, aku berhenti pada
satu akun : Dina Nahda Yanianti. Dina.
Kubuka
akun itu dengan sedikit sentuhan jari. Kubuka avatarnya. Foto seorang gadis cantik. Ia berjilbab, tapi masih
dapat kuingat dengan jelas rambut ombak lembutnya yang berwarna hitam
mengkilap. Wajahnya masih putih lembut serupa cahaya purnama. Senyumnyapun
masih sama. Dan matanya…. Masih sempurna. Masih menghancurkan. Sama seperti
saat aku melihatnya pertama kali di kelas kursus sembilan tahun lalu.
Mata
Dina adalah pusat daya tariknya, dan sekaligus pusat kehidupanku. Aku jatuh
cinta padanya, begitu dalam, tepat pada saat sepasang mata itu menatapku di
kelas kursus untuk megiktui ujian masuk SMA. Sejak itu, hidupku adalah tentang
kesempurnaan dan kebaikan. Mimpi menciptakan kehidupan sempurna untuk diriku
dan perempuan bermata teduh layaknya telaga subuh itu.
Hahh….
Kupandangi
lama foto itu. Dina tak sendiri, dan kurasa tak kan pernah sendiri lagi. Di
fotonya tampak seorang pria berwajah segar nan teduh, dengan sepasang alis mata
tebal seperti karpet beludru, dan kedua mata yang jernih dan tenang. Sungguh
kombinasi yang sempurna dengan sepasang mata teduh milik Dina. Mereka cocok,
dan kurasa pernikahannya kemarin sangat menujukkan kebahagian mereka.
Kurasa
sudah saatnya menjadi dewasa. Aku berbalik pulang, bahkan saat tapak kaki ini
baru menginjak lantai aula pernikahan. Aku akan menjadi dewasa. Berubah.
Menjadi dewasa berarti melepaskan masa lalu untuk bisa maju. Menjadi dewasa
berarti berhenti membual. Menjadi dewasa berarti berhenti bergerak, dan segera
mencari tempat aman untuk berdiam. Menjadi dewasa berarti behenti bodoh.
Menjadi dewasa, berarti berhenti percaya pada kahayalan.
“Jika saat itu aku cukup berani
untuk bersamamu, apakah aku akan masih tetap percaya?”
“Jika saat itu aku
memperjuangkanmu, apakah aku akan tetap bergerak?’
“jika saat ini… kau ada di
sampingku, apakah semua akan tetap sama ?”
Aku
mendapati diriku kembali di kamarku yang gelap. Hari sudah lama terlelap.
Tanganku kananku bergerak mendekati daerah sensitifku. Dengan kasar, aku
menggesek-geseknya. Sangat kasar. Semakin kasar, aku dapat merasakan
kehadiranu. Semakin nyata. Semakin dekat.
Aku
tidak kuat. Semua keluar begitu saja. Dosa itu mengalir perlahan, menghanyutkan
bayang dirimu yang kemudian semakin menjauh, menatapku tanpa ekspresi. Dengan
sisa tenaga, aku berusaha meraihmu. Namun, kau… semakin jauh dan samar.
Haa….
Aku memang tolol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar