Aku
bertemu sekelompok kecil remaja itu di Swalayan dekat perumahan saat hendak
membeli pulsa token listrik. Mereka terdiri dari lima orang, tiga laki-laki dan
dua perempuan berjilbab. Tampaknya mereka hendak berangkat mendaki gunung,
karena masing-masing mengenakan jaket gunung dan celana mendaki, serta salah
seorang dari mereka memanggul tas carrier. Pandanganku tak lepas dari mereka,
hingga suara kasir perempuan mengembalikan kesadaranku. Saat aku keluar, aku
masih mendapati mereka di tempat parkir, bersiap dengan tiga sepeda motor,
dengan dua perempuan itu membonceng di dua teman laki-lakinya, sementara yang
membawa tas carrier mengendara sendirian. Saat mereka menghilang, aku kembali
ke sepeda motorku. Mamaku masih di sana, bermain dengan handphonenya.
“ Adek gak dibolehkan naik gunung
kan, ya?”
“ Gak boleh!” Jawab mamaku cepat.
Sepertinya Mama sudah menyadari bahwa aku memandangi anak-anak muda itu di
tempat parkir swalayan.
“ Kamu itu.. sudah…” Aku tidak
dengar lagi lanjutan omelannya. Aku memang tidak serius dengan kata-kataku.
Tidak terbesit dalam benakku untuk benar-benar naik gunung, karena itu aku
memilih mengabaikan semua ocehan Mama karena tidak berguna juga mendengar
sesuatu yang kita sudah tahu dengan cara yang tidak menyenangkan. Aku hanya
mendesah. Bukan karena larangan naik gunung, namun karena kebimbanganku. Aku
sama sekalu tidak mengerti apa yang bisa dan harus kulakukan. Aku mendapati
diriku benar-benar letih. Rasanya ingin berbaring, tenggelam dalam belaian
kasur busa milikku dan menghilang dalam kegelapan. Aku ingin terbangung dan
mendapati diriku di tepi pantai yang sunyi, hanya ditemani deburan ombak
berbuih-buih putih serta angin yang bertiup kencang di bawah kelembutan sorot
rembulan di atas kepalaku. Aku ingin merasakan hangat dan nyamannya berbaring
di atas pasir pantai yang halus, merasakan kesunyian yang penuh damai, dan rasa
lapang berhadapan dengan horizon tak terbatas yang ditawarkan oleh lautan pekat
nan anggun.
Lalu aku bertemu denganmu, di sana,
di tepi pantai yang sama, duduk dengan lutut terlipat, di sebelahku. Aku
memandangimu. Wajahmu. Kulit putih bersih dengan hidung mancung itu, bibir
tipis yang tersenyum manis, serta sepasang mata jernih dan polos, persis saat
terakhir kali aku melihatnya. Rambut hitam sebahu mu berkibar ditiup angin
darat di tengah malam gelap. Helai-helai itu menyapu lembut pipi kananmu.
“ Bagaimana rasanya mati?” Aku
bertanya padamu.
Lalu kau tersenyum, persis seperti
dulu. Senyum yang telah meluluhlantakkan perasaanku tiga tahun lalu. Senyum
yang selalu kembali saat luka rindu ini baru kering, dan pergi hanya untuk
meninggalkan luka baru lagi.
“ Rasanya biasa saja. Tidak berbeda
dengan kehidupan. Raga, kalau kau tahu, tidak ada yang mengerikan dari
kematian.” Ujarmu lembut. Ya, benar.
Bagi yang pergi, kematian itu tidak ubahnya proses perpindahan dari dimensi
fisik menuju dimensi metafisik. Sakitnya hanya sebentar, saat malaikat mencabut
paksa ruh dari tubuh. Namun, bagi yang ditinggalkan, kematian tidak pernah
sesederhana itu. Bagi yang masih harus melanjutkan hidup, luka akibat
ditinggalkan rasanya jauh lebih sakit dan lebih lama. Orang yang mati, akan
pergi dengan segera, sementara yang hidup akan tercenung di depan makam orang
yang dikasihinya, berusaha menerima kenyataan yang terlalu menyakitkan.
“Ikhlaskan aku, Raga…” Lanjutmu.
Tidak, ini bukan masalah ikhlas atau
tidak. Ini masalah terbiasa atau tidak. Dan tanpa senyumanmu, tanpa tatapan
sepasang matamu yang jernih dan polos itu, aku tidak pernah bisa terbiasa. Aku
merindukanmu. Sangat. Apabila kematian memang tidak seburuk yang kau katakan,
Windri, mungkin ada baiknya aku ikut menyusulmu ke sana, melalui jalan yang
sama yang telah kau tempuh.
Kau menggenggam tanganku. Hangat.
Rasa yang masih sama seperti malam berhujan di bulan Desember. Kugenggam erat
tangan halus itu. Tanpa sadar, mataku terasa panas. Kupandangi wajahmu. “Jangan
pergi, kumohon… Aku muak di sini. Aku tidak mau ada di sini, tidak tanpamu.”
Kau menggeleng pelan.
Lalu, kau mencium keningku. Seperti
yang kau lakukan saat terakhir sebelum kita berpisah. Aku terkesiap. Dan
menemukan diriku sudah sampai di depan pagar rumah. Omelan mamaku sudah
berhenti. Malam tidak lagi sunyi, dan aku kembali disergap rasa sepi itu.
Windri.
Pergi. Lagi.
Juni,
kemarau kering menerpa bumi khatulistiwa. Tinggal beberapa hari lagi sebelum
umat muslim kembali bertemu dengan bulan Ramadan. Aku telah berusia duapuluh
tahun, dan beberapa minggu lagi, memasuki masa perkuliahan semester lima. Waktu
cepat sekali berlalu semenjak Windri memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Hidupnya
telah direnggut tiga kali. Pertama, oleh pamannya sendiri, seorang laki-laki
buncit dengan jenggot berantakan, dan kantung mata yang selalu tercetak jelas
di bawah matanya. Tidak ada satupun yang curiga, semua terkunci rapat karena
Sang Bibi juga terlibat dalam rancana busuk itu. Bangkai itu tersimpan rapat
selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya, bau itu bocor melalui kakak
perempuannya, Mbak Shita, yang datang mengunjunginya secara diam-diam. Demi
kekayaan, demi memuaskan hasrat mengenyangkan perut dan berkalung mutiara,
paman dan bibimu tega membunuh sebagian dari dirinya. Serangkaian ritual
pesugihan dan demi meningkatkan karisma pribadi laki-laki brengsek itu,
kesucian Windri harus dijadikan tumbal.
Pada
siang hari yang cerah dan sepi, saat seluruh ibu rumah tangga tengah tertidur
dan anak-anak memilih bermain di lapangan jauh dari blok, Windri pulang dari
sekolah, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Begitu masuk ke dalam, gadis
cantik itu menemukan Pamannya-hanya mengenakan kaus dalam dan sarung sedang
duduk di kursi ruang tamu. Ia meringis, menunjukkan wajah memuakkan. Windri
tidak curiga sedikitpun hanya menyapa dan mencium tangan Pamannya seperti
biasanya. Namun, saat ia menggapai tangan Pamannya, sebuah tangan kasar dan
besar menarik tubuh kecil Windri. Gadis itu jatuh tepat di dada Pamannya. Ia
meronta, namun tangan besar itu sanggup mengalahkan kekuatan dari gadis berusia
enambelas tahun tersebut. Tangan besar lainnya membekap mulut Windri,
mencegahnya berteriak. Kemudian, sepasang tangan lain mulai mempreteli kancing seragam
SMA Windri. Sepasang tangan milik Bibinya. Sejurus kemudian, seluruh pakaian
berhasil ditanggalkan. Air mata suci dari gadis itu mengalir deras, memohon
ampun pada kebiadaban yang telah buas. Ia tak ubahnya kupu-kupu yang telah
terjerat jarring laba-laba. Rontaannya tiada berarti, hanya menunggu waktu
sampai laba-laba buas itu menusukkan taringnya dan menyesap sari kehidupannya
yang murni.
Aku
menemui Windri di sekolah, dan menyadari ada yang aneh dengan dirinya. Wajahnya
tak lagi bersinar secerah biasanya. Ada kegelapan yang bergelayutan di balik
mata jernihnya yang menggetarkan. Saat aku bertanya, dia hanya menjawab sedang
sakit. Dengan bodohnya, aku percaya kebohongan itu. Berbulan-bulan kemudian,
aku tidak lagi bisa menemuinya. Windri sudah dua minggu tidak bersekolah. Saat
aku ke rumahnya, pintu selalu tertutup rapat, dan meski bertemu dengan Bibinya,
ia selalu menjawab Windri sedang pulang ke rumah Ibunya di kampung. Tentu saja,
wanita tua brengsek, kau sedang mengurungnya. Sekarang, aku mengutuk perempuan
keji itu. Aku masih mengingat senyum palsunya yangtidak kusadari waktu itu, dan
aku bersumpah, bila waktu bisa kuputar lagi, aku akan menebas bajingan betina
dengan topeng jilbabnya itu. Namun, tetap saja, semua sudah terlambat.
Tak
lama kemudian, aku mendengar sebuah berita yang menghancurkan diriku: Windri
telah diperkosa, ditiduri hingga berbulan-bulan, dan kini tengah mengandung
seorang bayi yang tidak diinginkan. Sang pemerkosa dan ayah dari bayi tersebut
adalah Sang Paman sendiri, dibantu dengan istrinya, Sang Bibi, dengan alasan
sebagai ritual pesugihan. Janin dari rahim perawan untuk persembahan pada Iblis
sebagai bayaran untuk kekayaan dan kekuasaan. Seluruh perumahan heboh. Semua
ingin mengetahui cerita persisnya, mereka berdatangan, berkerumun di depan
rumah Sang Paman Biadab yang menjadi tempat tinggal Windri selama dia
melanjutkan sekolahnya di kota ini.
Aku
hanya ingat satu hal yang kulakukan, yaitu memastikan keberadaan dan kondisi
Windri. Aku bertanya ke sana ke mari, namun tidak ada satupun keluarga Windri
yang mau membuka mulut di mana keberadaan gadis bermata jernih itu. Sampai
ketika, entah dengan alasan apa, seorang perempuan paruh baya, bersuara lembut,
bicara padaku,
“
Kenapa kamu bersikeras mencarinya, mas?”
“
Saya harus bertemu dengannya!! Saya harus memastikan Windri baik-baik saja!!”
Dia
mendesah, “ Kamu enggak menjawab pertanyaan Ibu…”
Aku
diam sejenak. Mencerna kalimatnya dalam pikiranku yang kacau, lalu,
“
Karena saya harus melindunginya!! Saya… saya tidak tahu harus berkata apa, tapi
Windri adalah orang penting bagi saya. Untuk hidup saya. Kami selalu bersama,
dan dia selalu hadir saat saya membutuhkannya… Sekarang, saat dia dalam
kesulitan, saya, harus ada di sampingnya, meski saya juga tidak tahu apa yang
bisa saya lakukan untuk membuatnya lebih baik, atau saya dapat menolongnya dari
semua ini, yang pasti, saya harus ada di
sebelahnya..!!”
Wanita
itu tidak tersenyum. Hanya menatapku dalam dengan sepasang matanya.
“
Aku adalah Risma, tante Windri dari pihak Ibunya, dan tante adalah seorang ahli
kejiwaan. Meskipun enggan, saya tahu bahwa menyembunyikan Windri dan
menjauhkannya dari wajah-wajah yang amat berarti baginya hanya akan memperburuk
kondisi jiwa serta kesehatan janin yang dikandungnya. Dan di tempat di mana ia
berada sekarang, tante tahu, tidak ada seorangpun yang akan membuatnya lebih
baik, bahkan neneknya sekalipun. Bagaimanapun memalukannya kejadian ini, yang
terpenting sekarang adalah menjaga Windri tetap dalam kondisi kestabilan
jiwanya, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dia sekarang ada di
rumah Neneknya di Lamongan, ini alamatnya. Pergilah…” Ujar perempuan itu seraya
menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat padaku. Aku berterima kasih dan
pergi.
Menemui
Windri di rumah keluarganya bukanlah perkara mudah, tentu saja. Aku ditolak
mentah-mentah, bahkan diusir dengan kasar oleh seluruh saudara laki-lakinya. Sampai
malam, aku enggan meninggalkan rumah Windri, bersikeras dengan mengintai dari
balik rimbun bambu yang berada di seberang pekarangan rumah Neneknya. Lama aku
menunggu, tiba-tiba sesosok perempuan berdaster hijau dengan rambut digulung
mendekat kea rah persembunyianku-tentu saja mereka tahu. Kelihatannya dia
adalah sepupu Windri. Dia menyerahkan sepucuk surat padaku. “Dari Windri, mas…
Katanya mas tolong pergi dulu” Lantas kembali ke rumah.
Kubuka
surat itu, ditulis dengan tulisan tangan yang begitu kukenal-tulisan Windri,
Untuk Raga,
Maaf membuatmu khawatir
ya... Sampai-sampai membawamu kemari. Maaf atas perlakuan keluargaku yang tidak
sopan terhadapmu yang ingin menolongku. Handphoneku sudah diambil dan aku tidak
diijinkan menemui siapapun. Tapi, aku percaya padamu dan ingin segera bertemu
denganmu. Maukah kamu menungguku di Alun-alun kota sore ini jam 4? Kamu bisa
bertanya pada beberapa orang untuk mengetahui tempatnya. Aku ingin bicara
banyak denganmu. Maaf yaa…
Windri
Titik
basah menodai sudut surat itu. Air mata Windri. Kulipat surat itu, dan mulai
melangkah pergi. Pukul empat sore, aku menunggu di salah satu bangku taman di
alun-alun kota itu. Beberapa saat kemudian, Windri datang dengan ditemani
perempuan yang sama yang menyerahkan surat padaku. Mereka berjalan beriringan,
lengan Windri mengapit lengan perempuan itu dan berjalan tertatih-tatih. Aku
menghampiri mereka, dan ikut membantu Windri berjalan. Ia mengenakan baju
terusan berwarna biru laut-warna kesukaannya-perutnya tampak membesar. Windri
tersenyum manis melihatku membantunya duduk di bangku taman. Setelah itu,
perempuan yang tadi mengantar Windri, tanpa berkata apapun, langsung melangkah
pergi.
“Dia
Endang, sepupuku dari pihak Ibu. Maaf ya, dia tidak sopan.” Jelas Windri dengan
muka tersipu malu.Tidak apa-apa, kataku. Kupandangi wajahnya. Putih bersih,
hidung mancung, bermata bulat dan jernih, berambut hitam lurus sebahu dengan
poni rata yang menambah kesan wajah imut remajanya. Ia masih terlihat cantik
dan manis, meski sebagian dirinya telah direnggut secara paksa, meski tampak
ada sesuatu kelam dan gelap dari pandangannya. Sore itu, Windri bercerita
panjang lebar, tanpa kuminta, mengenai kelanjutan semuanya, tentang Paman dan
Bibinya yang telah ditangkap dan dijatuhi hukuman, mengenai rencanannya untuk
keluar dari sekolah-aku tidak bisa mencegahnya, mengenai kehamilannya yang
telah menginjak usia tiga bulan, dan kemudian berkata padaku,
“Keluarga
besar ingin aku menggugurkan bayi ini…”
Aku
terdiam. Tentu saja, secara logika, itu merupakan pilihan paling rasional
sekarang. Tidak ada keluarga yang mau
menanggung malu dengan kelahiran seorang anak hasil perbuatan maksiat, apalagi
hasil perbuatan dengan Paman sendiri. Namun, bagaimanapun, membunuh seorang
bayi, mengambil paksa kehidupan yang masih murni dengan cara yang tidak
diinginkan, merupakan tindakan yang juga menyakitkan, baik bagi Sang Ibu maupun
Sang Bayi. Windri memandangi kedua kakinya sembari tangannya mengelus-elus
perutnya yang masih ramping.
“
Tentu saja, semua orang setuju dengan keputusan itu. Tidak ada cara lain lagi,
kan…?”Ujar Windri. Aku memilih diam.
“Namun,
meski aku tahu itu yang seharusnya terjadi, entah kenapa… itu menjadi tidak
mudah…” Perlahan air mata suci itu jatuh dari pelupuk matanya dan membasahi
baju terusannya.
“Aku
tahu ini tidak pantas, tapi entah kenapa dan bagaimana, ada perasaan tidak rela
yang terselip dalam hatiku. Seakan-akan mengatakan bayi ini berharga dan punya
hak untuk hidup….Ada perasaan hangat, saat bayi ini bergerak dalam perutku,
seperti ada sepasang tangan kecil yang lembut memelukku. Perasaan itu mengalir,
membelai dadaku dengan hangat. Saat merasakan itu, Ga, tanpa sadar, aku
menangis. Bukan menangis penyesalan, namun tangis haru. Aku, entah bagaimana,
mulai menyukai bayi ini. Setiap malam, aku menangis. Memohon petunjuk pada
Tuhan, mengenai perasaanku ini, apakah sebuah dosa atau bukan. Aku bingung,
Ga.. dan seiring dengan waktu, bayi ini terus tumbuh, bersama perasaanku
padanya…”
Kendaraan
hilir mudik menjadi latar belakang kebisuan kami. Aku terdiam, berpikir. Aku
mencintai Windri, sangat. Sejauh perjalanan hidupku yang singkat ini, aku hanya
melihat Windri, dan aku tidak tahu apa aku bisa jatuh cinta lagi sekeras ini.
Satu hal yang kutahu saat itu, aku tidak ingin menyesal dengan kehilangannya,
atau membuatnya terluka lebih jauh lagi.
“Aku
akan tetap di sampingmu, kapanpun, dan apapun yang terjadi…” Ujarku tenang
sembari mengelus-elus perutnya. Kulihat Windri tercenung. Matanya menatapku
antara tidak percaya dan berusaha memahami apa yang dia dengar.
“Apapun
dan bagaimanapun…” Lanjutku.
“
Kau adalah bagian berharga dalam hidupku. Sedetikpun aku tidak ingin
kehilanganmu. Aku sudah mengalaminya beberapa waktu terakhir ini, dan aku tidak
ingin merasakannya lagi. Apapun yang terjadi padamu, aku akan tetap di sini,
bersamamu… dan menjagamu, serta anak yang telah menjadi bagian berharga dari
dirimu ini…”
Aku
melihat sepasang mata Windri berkaca-kaca. Air matanya mengalir, namun kini
dengan senyum tipis yang mekar di bibirnya. Aku meraih wajahnya, dan
kutempelkan keningku pada keningnya. Kurasakan nafas kami berdua beradu.
Hangat. Harum.
“Jangan
takut… dan kumohon…”
Tenggorokanku
mendadak sangat kering, aku berusaha sekuat tenaga mengalirkan kat-kataku.
“jangan pergi…”
Windri
terisak.
Kemudian,
aku pulang. Mencoba menyiapkan mental untuk menghadapi dan menjelaskan semuanya
pada kedua orang tuaku. Aku tidak bisa mundur lagi. Aku tidak bisa kehilangan
perempuan itu. Hal ini tidak menjadi mudah, karena butuh empat hari sebelum aku
membulatkan niat dan tekad bicara pada kedua orang tuaku mengenai semua
rencanaku dengan Windri. Namun, sebelum aku melakukannya, sebuah pesan singkat
masuk ke handphoneku, isinya :
Raga, aku memutuskan
untuk menggugurkan bayi ini. Masalah yang kita berdua rencanakan, lebih baik
lupakan saja. Aku tidak mau mengusikmu lebih jauh. Kita akan segera bertemu.
Aku menyayangimu. Selalu.
Aku
tercenung. Berita itu bak bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki
saata akhir perang dunia. Seluruh tubuhku lemas dengan beragam perasaan yang
ganjil berbaur jadi satu. Satu sisi, aku hancur. Windri memilih membunuh bagian
penting dari dirinya : anaknya sendiri. Kehancurannya merupakan kehancuranku
juga. Namun, di sisi lain, aku merasa lega, betul-betul lega. Pada saat itulah
aku mengetahui, bahwa aku hanyalah pria omong besar dan pengecut. Sekarang, aku
tahu Windri telah terbunuh kedua kalinya.
Aku
kehilangan kontak dengan Windri selama berbulan-bulan. Aku lulus dari SMA dan
diterima di sebuah universitas negeri ternama di daerahku. Pada saat itu,
hari-hariku dipenuhi dengan kekosongan dan kesedihan. Aku berkali-kali
berkunjung ke rumah Windri di Lamongan, namun tak pernah diijinkan bertemu. Aku
nelangsa. Pikiranku remuk dan pecah berkeping-keping. Aku berusaha menyatukan
dan menyusunnya kembali, namun selalu runtuh setiap aku teringat air mata
Windri di Alun-alun sore itu. Suatu hari, sebuah panggilan masuk ke handphoneku.
Itu berasal dari Windri.
“
Assallammualaikum…”
Aku
tercengan. Suara lembut itu tidak pernah kulupakan.
“
Windri, kamu di mana? Apa yang terjadi??!! Kenapa kau menghilang??!!” Aku
memberondongnya tanpa memperdulikan salamnya. Ia diam mendengarkan, dan
membiarkanku menuntaskan semua pertanyaanku.
“
Maafkan aku, Ga… Aku baik-baik saja. Aku tahu aku sudah salah. Namun, sekarang
aku sudah kembali ke Sidoarjo. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Aku
merindukanmu. Bagaimana kalau kita bertemu di Taman yang biasanya jam 9 malam
nanti?”
Aku
mengiyakan.
Pukul
9 malam, aku sudah berdiri di bawah tiang lampu taman. Beberapa saat kemudian,
dia datang. Windri mengenakan Jaket bulu kesukaannya dengan celana jins
longgar. Dia melempar senyum padaku. Senyum yang sudah lama tidak aku lihat
lagi. Rambutnya kini terurai panjang, meski tetap dengan gaya yang sama seperti
dulu. Kami berjalan-jalan sebentar, bertukar sapa dan berbasa-basi. Kemudian,
duduk di salah satu bangku di bawah
temaram lampu yang menghadap jalanan.
“Maafkan
aku…” Ujar Windri membuka percakapan. Aku menggeleng.
“
Tidak, sungguh. Maafkan aku. Aku sudah mempermainkanmu selama ini. Aku
mendatangimu, melukaimu, dan kemudian pergi tanpa menyembuhkannya. Aku sungguh
kejam.”
“Aku
tidak mengerti apa yang kau katakana…” Balasku.
Windri
menceritakan bahwa sesungguhnya ada alasan kenapa aku bisa menemuinya di
Lamongan saat itu. Alasannya adalah Windri berhasil menyakinkan keluarga
besarrnya bahwa aku merupakan laki-laki yang mencintainya, dan bersedia menikahinya
dalam kondisi apapun, bahkan bertanggungjawab atas kehamilan yang tidak aku
sebabkan. Kemudian, Windri menemuiku, dan berhasil membujukku, namun kemudian
berubah pikiran.
“Kenapa
begitu?” Tanyaku.
“Saat
kau mengatakan hal itu padaku, bahwa aku adalah bagian penting hidupmu. Aku,
tidak bisa tidak, mengutuk diriku dan keegoisanku sendiri. Kamu laki-laki baik,
yang mencintaiku apa adanya dengan sungguh-sungguh, bagaimana bisa aku tega
memanfaatkanmu demi menyelamatkan egoku sendiri?? Aku memikirkannya. Kemudian,
memutuskan bahwa kau berhak atas sesuatu yang lebih baik daripada ini…Meskipun
aku sakit saat harus melakukannya..” Jelas Windri seraya terus menggenggam
tanganku.
Tapi
aku hanya pengecut, ujarku. Windri tersenyum, mencium bibirku, dan berkata,”Aku
benar-benar bersyukur dicintai olehmu…”
Lalu,
kami berciuman lagi. Lebih lama. Di bawa temaram yang semakin lemah.
Kini,
Windri sudah pergi. Sebulan setelah ciuman kami di Taman Alun-alun, ia
memutuskan hidupnya dengan seutas tali. Ia bukan bunuh diri, tapi dibunuh.
Kehilangan kesuciannya dengan paksa, dan bayinya, membuatnya kehilangan
sebagian besar hidupnya. Ia memilih mati, menuntaskan semuanya dengan caranya
sendiri.
Di
sini, aku memilih hidup.
Meneruskan
perjalananku dalam kondisi limbung. Menjalani kehidupan kuliahku tanpa pegangan
hingga membawaku pada bulan Juni yang terik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar