Minggu, 01 November 2015

Segelas Anggur



Aku bertemu sekelompok kecil remaja itu di Swalayan dekat perumahan saat hendak membeli pulsa token listrik. Mereka terdiri dari lima orang, tiga laki-laki dan dua perempuan berjilbab. Tampaknya mereka hendak berangkat mendaki gunung, karena masing-masing mengenakan jaket gunung dan celana mendaki, serta salah seorang dari mereka memanggul tas carrier. Pandanganku tak lepas dari mereka, hingga suara kasir perempuan mengembalikan kesadaranku. Saat aku keluar, aku masih mendapati mereka di tempat parkir, bersiap dengan tiga sepeda motor, dengan dua perempuan itu membonceng di dua teman laki-lakinya, sementara yang membawa tas carrier mengendara sendirian. Saat mereka menghilang, aku kembali ke sepeda motorku. Mamaku masih di sana, bermain dengan handphonenya.
            “ Adek gak dibolehkan naik gunung kan, ya?”
            “ Gak boleh!” Jawab mamaku cepat. Sepertinya Mama sudah menyadari bahwa aku memandangi anak-anak muda itu di tempat parkir swalayan.
            “ Kamu itu.. sudah…” Aku tidak dengar lagi lanjutan omelannya. Aku memang tidak serius dengan kata-kataku. Tidak terbesit dalam benakku untuk benar-benar naik gunung, karena itu aku memilih mengabaikan semua ocehan Mama karena tidak berguna juga mendengar sesuatu yang kita sudah tahu dengan cara yang tidak menyenangkan. Aku hanya mendesah. Bukan karena larangan naik gunung, namun karena kebimbanganku. Aku sama sekalu tidak mengerti apa yang bisa dan harus kulakukan. Aku mendapati diriku benar-benar letih. Rasanya ingin berbaring, tenggelam dalam belaian kasur busa milikku dan menghilang dalam kegelapan. Aku ingin terbangung dan mendapati diriku di tepi pantai yang sunyi, hanya ditemani deburan ombak berbuih-buih putih serta angin yang bertiup kencang di bawah kelembutan sorot rembulan di atas kepalaku. Aku ingin merasakan hangat dan nyamannya berbaring di atas pasir pantai yang halus, merasakan kesunyian yang penuh damai, dan rasa lapang berhadapan dengan horizon tak terbatas yang ditawarkan oleh lautan pekat nan anggun.
            Lalu aku bertemu denganmu, di sana, di tepi pantai yang sama, duduk dengan lutut terlipat, di sebelahku. Aku memandangimu. Wajahmu. Kulit putih bersih dengan hidung mancung itu, bibir tipis yang tersenyum manis, serta sepasang mata jernih dan polos, persis saat terakhir kali aku melihatnya. Rambut hitam sebahu mu berkibar ditiup angin darat di tengah malam gelap. Helai-helai itu menyapu lembut pipi kananmu.

            “ Bagaimana rasanya mati?” Aku bertanya padamu.
            Lalu kau tersenyum, persis seperti dulu. Senyum yang telah meluluhlantakkan perasaanku tiga tahun lalu. Senyum yang selalu kembali saat luka rindu ini baru kering, dan pergi hanya untuk meninggalkan luka baru lagi.
            “ Rasanya biasa saja. Tidak berbeda dengan kehidupan. Raga, kalau kau tahu, tidak ada yang mengerikan dari kematian.”  Ujarmu lembut. Ya, benar. Bagi yang pergi, kematian itu tidak ubahnya proses perpindahan dari dimensi fisik menuju dimensi metafisik. Sakitnya hanya sebentar, saat malaikat mencabut paksa ruh dari tubuh. Namun, bagi yang ditinggalkan, kematian tidak pernah sesederhana itu. Bagi yang masih harus melanjutkan hidup, luka akibat ditinggalkan rasanya jauh lebih sakit dan lebih lama. Orang yang mati, akan pergi dengan segera, sementara yang hidup akan tercenung di depan makam orang yang dikasihinya, berusaha menerima kenyataan yang terlalu menyakitkan.
            “Ikhlaskan aku, Raga…” Lanjutmu.
            Tidak, ini bukan masalah ikhlas atau tidak. Ini masalah terbiasa atau tidak. Dan tanpa senyumanmu, tanpa tatapan sepasang matamu yang jernih dan polos itu, aku tidak pernah bisa terbiasa. Aku merindukanmu. Sangat. Apabila kematian memang tidak seburuk yang kau katakan, Windri, mungkin ada baiknya aku ikut menyusulmu ke sana, melalui jalan yang sama yang telah kau tempuh.
            Kau menggenggam tanganku. Hangat. Rasa yang masih sama seperti malam berhujan di bulan Desember. Kugenggam erat tangan halus itu. Tanpa sadar, mataku terasa panas. Kupandangi wajahmu. “Jangan pergi, kumohon… Aku muak di sini. Aku tidak mau ada di sini, tidak tanpamu.”
            Kau menggeleng pelan.
            Lalu, kau mencium keningku. Seperti yang kau lakukan saat terakhir sebelum kita berpisah. Aku terkesiap. Dan menemukan diriku sudah sampai di depan pagar rumah. Omelan mamaku sudah berhenti. Malam tidak lagi sunyi, dan aku kembali disergap rasa sepi itu.
Windri. Pergi. Lagi.
Juni, kemarau kering menerpa bumi khatulistiwa. Tinggal beberapa hari lagi sebelum umat muslim kembali bertemu dengan bulan Ramadan. Aku telah berusia duapuluh tahun, dan beberapa minggu lagi, memasuki masa perkuliahan semester lima. Waktu cepat sekali berlalu semenjak Windri memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Hidupnya telah direnggut tiga kali. Pertama, oleh pamannya sendiri, seorang laki-laki buncit dengan jenggot berantakan, dan kantung mata yang selalu tercetak jelas di bawah matanya. Tidak ada satupun yang curiga, semua terkunci rapat karena Sang Bibi juga terlibat dalam rancana busuk itu. Bangkai itu tersimpan rapat selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya, bau itu bocor melalui kakak perempuannya, Mbak Shita, yang datang mengunjunginya secara diam-diam. Demi kekayaan, demi memuaskan hasrat mengenyangkan perut dan berkalung mutiara, paman dan bibimu tega membunuh sebagian dari dirinya. Serangkaian ritual pesugihan dan demi meningkatkan karisma pribadi laki-laki brengsek itu, kesucian Windri harus dijadikan tumbal.
Pada siang hari yang cerah dan sepi, saat seluruh ibu rumah tangga tengah tertidur dan anak-anak memilih bermain di lapangan jauh dari blok, Windri pulang dari sekolah, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Begitu masuk ke dalam, gadis cantik itu menemukan Pamannya-hanya mengenakan kaus dalam dan sarung sedang duduk di kursi ruang tamu. Ia meringis, menunjukkan wajah memuakkan. Windri tidak curiga sedikitpun hanya menyapa dan mencium tangan Pamannya seperti biasanya. Namun, saat ia menggapai tangan Pamannya, sebuah tangan kasar dan besar menarik tubuh kecil Windri. Gadis itu jatuh tepat di dada Pamannya. Ia meronta, namun tangan besar itu sanggup mengalahkan kekuatan dari gadis berusia enambelas tahun tersebut. Tangan besar lainnya membekap mulut Windri, mencegahnya berteriak. Kemudian, sepasang tangan lain mulai mempreteli kancing seragam SMA Windri. Sepasang tangan milik Bibinya. Sejurus kemudian, seluruh pakaian berhasil ditanggalkan. Air mata suci dari gadis itu mengalir deras, memohon ampun pada kebiadaban yang telah buas. Ia tak ubahnya kupu-kupu yang telah terjerat jarring laba-laba. Rontaannya tiada berarti, hanya menunggu waktu sampai laba-laba buas itu menusukkan taringnya dan menyesap sari kehidupannya yang murni.
Aku menemui Windri di sekolah, dan menyadari ada yang aneh dengan dirinya. Wajahnya tak lagi bersinar secerah biasanya. Ada kegelapan yang bergelayutan di balik mata jernihnya yang menggetarkan. Saat aku bertanya, dia hanya menjawab sedang sakit. Dengan bodohnya, aku percaya kebohongan itu. Berbulan-bulan kemudian, aku tidak lagi bisa menemuinya. Windri sudah dua minggu tidak bersekolah. Saat aku ke rumahnya, pintu selalu tertutup rapat, dan meski bertemu dengan Bibinya, ia selalu menjawab Windri sedang pulang ke rumah Ibunya di kampung. Tentu saja, wanita tua brengsek, kau sedang mengurungnya. Sekarang, aku mengutuk perempuan keji itu. Aku masih mengingat senyum palsunya yangtidak kusadari waktu itu, dan aku bersumpah, bila waktu bisa kuputar lagi, aku akan menebas bajingan betina dengan topeng jilbabnya itu. Namun, tetap saja, semua sudah terlambat.
Tak lama kemudian, aku mendengar sebuah berita yang menghancurkan diriku: Windri telah diperkosa, ditiduri hingga berbulan-bulan, dan kini tengah mengandung seorang bayi yang tidak diinginkan. Sang pemerkosa dan ayah dari bayi tersebut adalah Sang Paman sendiri, dibantu dengan istrinya, Sang Bibi, dengan alasan sebagai ritual pesugihan. Janin dari rahim perawan untuk persembahan pada Iblis sebagai bayaran untuk kekayaan dan kekuasaan. Seluruh perumahan heboh. Semua ingin mengetahui cerita persisnya, mereka berdatangan, berkerumun di depan rumah Sang Paman Biadab yang menjadi tempat tinggal Windri selama dia melanjutkan sekolahnya di kota ini.
Aku hanya ingat satu hal yang kulakukan, yaitu memastikan keberadaan dan kondisi Windri. Aku bertanya ke sana ke mari, namun tidak ada satupun keluarga Windri yang mau membuka mulut di mana keberadaan gadis bermata jernih itu. Sampai ketika, entah dengan alasan apa, seorang perempuan paruh baya, bersuara lembut, bicara padaku,
“ Kenapa kamu bersikeras mencarinya, mas?”
“ Saya harus bertemu dengannya!! Saya harus memastikan Windri baik-baik saja!!”
Dia mendesah, “ Kamu enggak menjawab pertanyaan Ibu…”
Aku diam sejenak. Mencerna kalimatnya dalam pikiranku yang kacau, lalu,
“ Karena saya harus melindunginya!! Saya… saya tidak tahu harus berkata apa, tapi Windri adalah orang penting bagi saya. Untuk hidup saya. Kami selalu bersama, dan dia selalu hadir saat saya membutuhkannya… Sekarang, saat dia dalam kesulitan, saya, harus ada di sampingnya, meski saya juga tidak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk membuatnya lebih baik, atau saya dapat menolongnya dari semua ini,  yang pasti, saya harus ada di sebelahnya..!!”
Wanita itu tidak tersenyum. Hanya menatapku dalam dengan sepasang matanya.
“ Aku adalah Risma, tante Windri dari pihak Ibunya, dan tante adalah seorang ahli kejiwaan. Meskipun enggan, saya tahu bahwa menyembunyikan Windri dan menjauhkannya dari wajah-wajah yang amat berarti baginya hanya akan memperburuk kondisi jiwa serta kesehatan janin yang dikandungnya. Dan di tempat di mana ia berada sekarang, tante tahu, tidak ada seorangpun yang akan membuatnya lebih baik, bahkan neneknya sekalipun. Bagaimanapun memalukannya kejadian ini, yang terpenting sekarang adalah menjaga Windri tetap dalam kondisi kestabilan jiwanya, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dia sekarang ada di rumah Neneknya di Lamongan, ini alamatnya. Pergilah…” Ujar perempuan itu seraya menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat padaku. Aku berterima kasih dan pergi.
Menemui Windri di rumah keluarganya bukanlah perkara mudah, tentu saja. Aku ditolak mentah-mentah, bahkan diusir dengan kasar oleh seluruh saudara laki-lakinya. Sampai malam, aku enggan meninggalkan rumah Windri, bersikeras dengan mengintai dari balik rimbun bambu yang berada di seberang pekarangan rumah Neneknya. Lama aku menunggu, tiba-tiba sesosok perempuan berdaster hijau dengan rambut digulung mendekat kea rah persembunyianku-tentu saja mereka tahu. Kelihatannya dia adalah sepupu Windri. Dia menyerahkan sepucuk surat padaku. “Dari Windri, mas… Katanya mas tolong pergi dulu” Lantas kembali ke rumah.
Kubuka surat itu, ditulis dengan tulisan tangan yang begitu kukenal-tulisan Windri,
Untuk Raga,
Maaf membuatmu khawatir ya... Sampai-sampai membawamu kemari. Maaf atas perlakuan keluargaku yang tidak sopan terhadapmu yang ingin menolongku. Handphoneku sudah diambil dan aku tidak diijinkan menemui siapapun. Tapi, aku percaya padamu dan ingin segera bertemu denganmu. Maukah kamu menungguku di Alun-alun kota sore ini jam 4? Kamu bisa bertanya pada beberapa orang untuk mengetahui tempatnya. Aku ingin bicara banyak denganmu. Maaf yaa…
Windri
Titik basah menodai sudut surat itu. Air mata Windri. Kulipat surat itu, dan mulai melangkah pergi. Pukul empat sore, aku menunggu di salah satu bangku taman di alun-alun kota itu. Beberapa saat kemudian, Windri datang dengan ditemani perempuan yang sama yang menyerahkan surat padaku. Mereka berjalan beriringan, lengan Windri mengapit lengan perempuan itu dan berjalan tertatih-tatih. Aku menghampiri mereka, dan ikut membantu Windri berjalan. Ia mengenakan baju terusan berwarna biru laut-warna kesukaannya-perutnya tampak membesar. Windri tersenyum manis melihatku membantunya duduk di bangku taman. Setelah itu, perempuan yang tadi mengantar Windri, tanpa berkata apapun, langsung melangkah pergi.
“Dia Endang, sepupuku dari pihak Ibu. Maaf ya, dia tidak sopan.” Jelas Windri dengan muka tersipu malu.Tidak apa-apa, kataku. Kupandangi wajahnya. Putih bersih, hidung mancung, bermata bulat dan jernih, berambut hitam lurus sebahu dengan poni rata yang menambah kesan wajah imut remajanya. Ia masih terlihat cantik dan manis, meski sebagian dirinya telah direnggut secara paksa, meski tampak ada sesuatu kelam dan gelap dari pandangannya. Sore itu, Windri bercerita panjang lebar, tanpa kuminta, mengenai kelanjutan semuanya, tentang Paman dan Bibinya yang telah ditangkap dan dijatuhi hukuman, mengenai rencanannya untuk keluar dari sekolah-aku tidak bisa mencegahnya, mengenai kehamilannya yang telah menginjak usia tiga bulan, dan kemudian berkata padaku,
“Keluarga besar ingin aku menggugurkan bayi ini…”
Aku terdiam. Tentu saja, secara logika, itu merupakan pilihan paling rasional sekarang. Tidak ada  keluarga yang mau menanggung malu dengan kelahiran seorang anak hasil perbuatan maksiat, apalagi hasil perbuatan dengan Paman sendiri. Namun, bagaimanapun, membunuh seorang bayi, mengambil paksa kehidupan yang masih murni dengan cara yang tidak diinginkan, merupakan tindakan yang juga menyakitkan, baik bagi Sang Ibu maupun Sang Bayi. Windri memandangi kedua kakinya sembari tangannya mengelus-elus perutnya yang masih ramping.
“ Tentu saja, semua orang setuju dengan keputusan itu. Tidak ada cara lain lagi, kan…?”Ujar Windri. Aku memilih diam.
“Namun, meski aku tahu itu yang seharusnya terjadi, entah kenapa… itu menjadi tidak mudah…” Perlahan air mata suci itu jatuh dari pelupuk matanya dan membasahi baju terusannya.
“Aku tahu ini tidak pantas, tapi entah kenapa dan bagaimana, ada perasaan tidak rela yang terselip dalam hatiku. Seakan-akan mengatakan bayi ini berharga dan punya hak untuk hidup….Ada perasaan hangat, saat bayi ini bergerak dalam perutku, seperti ada sepasang tangan kecil yang lembut memelukku. Perasaan itu mengalir, membelai dadaku dengan hangat. Saat merasakan itu, Ga, tanpa sadar, aku menangis. Bukan menangis penyesalan, namun tangis haru. Aku, entah bagaimana, mulai menyukai bayi ini. Setiap malam, aku menangis. Memohon petunjuk pada Tuhan, mengenai perasaanku ini, apakah sebuah dosa atau bukan. Aku bingung, Ga.. dan seiring dengan waktu, bayi ini terus tumbuh, bersama perasaanku padanya…”
Kendaraan hilir mudik menjadi latar belakang kebisuan kami. Aku terdiam, berpikir. Aku mencintai Windri, sangat. Sejauh perjalanan hidupku yang singkat ini, aku hanya melihat Windri, dan aku tidak tahu apa aku bisa jatuh cinta lagi sekeras ini. Satu hal yang kutahu saat itu, aku tidak ingin menyesal dengan kehilangannya, atau membuatnya terluka lebih jauh lagi.
“Aku akan tetap di sampingmu, kapanpun, dan apapun yang terjadi…” Ujarku tenang sembari mengelus-elus perutnya. Kulihat Windri tercenung. Matanya menatapku antara tidak percaya dan berusaha memahami apa yang dia dengar.
“Apapun dan bagaimanapun…” Lanjutku.
“ Kau adalah bagian berharga dalam hidupku. Sedetikpun aku tidak ingin kehilanganmu. Aku sudah mengalaminya beberapa waktu terakhir ini, dan aku tidak ingin merasakannya lagi. Apapun yang terjadi padamu, aku akan tetap di sini, bersamamu… dan menjagamu, serta anak yang telah menjadi bagian berharga dari dirimu ini…” 
Aku melihat sepasang mata Windri berkaca-kaca. Air matanya mengalir, namun kini dengan senyum tipis yang mekar di bibirnya. Aku meraih wajahnya, dan kutempelkan keningku pada keningnya. Kurasakan nafas kami berdua beradu. Hangat. Harum.
“Jangan takut… dan kumohon…”
Tenggorokanku mendadak sangat kering, aku berusaha sekuat tenaga mengalirkan kat-kataku.
 “jangan pergi…”
Windri terisak.
Kemudian, aku pulang. Mencoba menyiapkan mental untuk menghadapi dan menjelaskan semuanya pada kedua orang tuaku. Aku tidak bisa mundur lagi. Aku tidak bisa kehilangan perempuan itu. Hal ini tidak menjadi mudah, karena butuh empat hari sebelum aku membulatkan niat dan tekad bicara pada kedua orang tuaku mengenai semua rencanaku dengan Windri. Namun, sebelum aku melakukannya, sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku, isinya :
Raga, aku memutuskan untuk menggugurkan bayi ini. Masalah yang kita berdua rencanakan, lebih baik lupakan saja. Aku tidak mau mengusikmu lebih jauh. Kita akan segera bertemu. Aku menyayangimu. Selalu.
Aku tercenung. Berita itu bak bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki saata akhir perang dunia. Seluruh tubuhku lemas dengan beragam perasaan yang ganjil berbaur jadi satu. Satu sisi, aku hancur. Windri memilih membunuh bagian penting dari dirinya : anaknya sendiri. Kehancurannya merupakan kehancuranku juga. Namun, di sisi lain, aku merasa lega, betul-betul lega. Pada saat itulah aku mengetahui, bahwa aku hanyalah pria omong besar dan pengecut. Sekarang, aku tahu Windri telah terbunuh kedua kalinya.
Aku kehilangan kontak dengan Windri selama berbulan-bulan. Aku lulus dari SMA dan diterima di sebuah universitas negeri ternama di daerahku. Pada saat itu, hari-hariku dipenuhi dengan kekosongan dan kesedihan. Aku berkali-kali berkunjung ke rumah Windri di Lamongan, namun tak pernah diijinkan bertemu. Aku nelangsa. Pikiranku remuk dan pecah berkeping-keping. Aku berusaha menyatukan dan menyusunnya kembali, namun selalu runtuh setiap aku teringat air mata Windri di Alun-alun sore itu. Suatu hari, sebuah panggilan masuk ke handphoneku. Itu berasal dari Windri.
“ Assallammualaikum…”
Aku tercengan. Suara lembut itu tidak pernah kulupakan.
“ Windri, kamu di mana? Apa yang terjadi??!! Kenapa kau menghilang??!!” Aku memberondongnya tanpa memperdulikan salamnya. Ia diam mendengarkan, dan membiarkanku menuntaskan semua pertanyaanku.
“ Maafkan aku, Ga… Aku baik-baik saja. Aku tahu aku sudah salah. Namun, sekarang aku sudah kembali ke Sidoarjo. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Aku merindukanmu. Bagaimana kalau kita bertemu di Taman yang biasanya jam 9 malam nanti?”
Aku mengiyakan.
Pukul 9 malam, aku sudah berdiri di bawah tiang lampu taman. Beberapa saat kemudian, dia datang. Windri mengenakan Jaket bulu kesukaannya dengan celana jins longgar. Dia melempar senyum padaku. Senyum yang sudah lama tidak aku lihat lagi. Rambutnya kini terurai panjang, meski tetap dengan gaya yang sama seperti dulu. Kami berjalan-jalan sebentar, bertukar sapa dan berbasa-basi. Kemudian, duduk di  salah satu bangku di bawah temaram lampu yang menghadap jalanan.
“Maafkan aku…” Ujar Windri membuka percakapan. Aku menggeleng.
“ Tidak, sungguh. Maafkan aku. Aku sudah mempermainkanmu selama ini. Aku mendatangimu, melukaimu, dan kemudian pergi tanpa menyembuhkannya. Aku sungguh kejam.”
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakana…” Balasku.
Windri menceritakan bahwa sesungguhnya ada alasan kenapa aku bisa menemuinya di Lamongan saat itu. Alasannya adalah Windri berhasil menyakinkan keluarga besarrnya bahwa aku merupakan laki-laki yang mencintainya, dan bersedia menikahinya dalam kondisi apapun, bahkan bertanggungjawab atas kehamilan yang tidak aku sebabkan. Kemudian, Windri menemuiku, dan berhasil membujukku, namun kemudian berubah pikiran.
“Kenapa begitu?” Tanyaku.
“Saat kau mengatakan hal itu padaku, bahwa aku adalah bagian penting hidupmu. Aku, tidak bisa tidak, mengutuk diriku dan keegoisanku sendiri. Kamu laki-laki baik, yang mencintaiku apa adanya dengan sungguh-sungguh, bagaimana bisa aku tega memanfaatkanmu demi menyelamatkan egoku sendiri?? Aku memikirkannya. Kemudian, memutuskan bahwa kau berhak atas sesuatu yang lebih baik daripada ini…Meskipun aku sakit saat harus melakukannya..” Jelas Windri seraya terus menggenggam tanganku.
Tapi aku hanya pengecut, ujarku. Windri tersenyum, mencium bibirku, dan berkata,”Aku benar-benar bersyukur dicintai olehmu…”
Lalu, kami berciuman lagi. Lebih lama. Di bawa temaram yang semakin lemah.
Kini, Windri sudah pergi. Sebulan setelah ciuman kami di Taman Alun-alun, ia memutuskan hidupnya dengan seutas tali. Ia bukan bunuh diri, tapi dibunuh. Kehilangan kesuciannya dengan paksa, dan bayinya, membuatnya kehilangan sebagian besar hidupnya. Ia memilih mati, menuntaskan semuanya dengan caranya sendiri.
Di sini, aku memilih hidup.
Meneruskan perjalananku dalam kondisi limbung. Menjalani kehidupan kuliahku tanpa pegangan hingga membawaku pada bulan Juni yang terik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar