Aku tidak pernah bisa dekat dengan ayah. Entah sejak kapan
dimulai, tapi kurasa sudah cukup lama aku mendapatkan perasaaan tidak nyaman
setiap kali dekat dengan ayah. Saat aku bangun tidur, keluar dari kamar, dan
mendapati ayahku di ruang keluarga sedang mononton tv, aku selalu merasa jemu,
bahkan sedikit jengah melihat raut wajahnya. Entah kenapa.
Seperti hari ini, Minggu, 31 Oktober, aku terbangun karena
silau dan hawa panas yang menyengat. Kesiangan lagi. Aku menatap langit-langit
kamarku sejenak. Kupandangi dengan khidmad seakan tergambar lukisan perempuan
cantik di sana. Sejurus, sebuah suara yang kukenal terdengar. Suara ayahku.
Ha,,,, ternyata minggu ini juga tidak masuk, desahku. Sudah
tiga minggu terakhir ini, ayah tidak lagi berangkat ke kantor setiap sabtu.
Proyek tangki sudah selesai dan barang sudah dikirimkan, katanya. Ayah tidak
perlu bekerja lembur dan tambahan di hari Sabtu. Padahal aku sudah sangat
terbiasa dengan ketidaberadaan ayah. Akhirnya, aku memilih menenggelamkan diri
dalam bekapan bantal-guling. Aku benar-benar malas bertatap muka dengannya.
Sebegitu bencikah aku dengan ayahku sendiri? Entahlah.
Setelah diingat-ingat lagi, sikapku terhadap ayah mulai berubah semenjak aku
tahu kenyataan bahwa ayah hanyalah seorang laki-laki lembek tidak berguna.
Kejam? Iya, tentu saja. Hanya anak tak bermoral yang menyebut orang tuanya
sendiri tidak berguna. Tapi lebih dari itu, aku tidak bisa menahan pemikiranku
ini. Semuanya tampak jelas dan neyata di depanku, betapa tidak bergunanya ayah.
Kejadian runtut yang terus menerus pada akhirnya menjelma menjadi alur yang
menggiringku serupa kerbau dungu menuju sebuah bukit, dan di balik bukit itu,
yang kutemukan hanyalah bangkai-bangkai busuk yang menebar bau dan pemandangan
memuakkan.
Ayah adalah seorang lulusan sarjana teknik sipil dari
institute negeri ternama di Indonesia. Pada masanyapun, Ayah dikenal sebagai
salah stu lulusan yang luar biasa. Begitu lulus, ia langsung diterima sebagai Quality Control Manager di sebuah BUMN
besar. Usia muda dan jabatan mapan, kombinasi yang sempurna sebagai seorang
pria. Singkat cerita, Ayah berhasil memperistri seorang wanita cantik dari
Jember yang telah memiliki karir sukses sebagai sekretaris direksi, wanita
itulah calon ibuku. Beberapa tahun awal pernikahan semua berjalan lancar, ibuku
adalah seorang wanita dengan karakter luar biasa. Ingatanku hanya bisa
membayangkan ibu sebagai sosok wanita pemberani dan rela berkorban demi
keluarganya, di samping sifat-sifatnya yang keras kepala. Ayah, cerita ibu,
adalah laki-laki lembut, rajin beribadah, dan sangat pintar. Laki-laki sempurna
pada masanya. Hanya saja, ayahku bukan tipe yang suka memperhatikan penampilan
dan menjaga diri, gayanya sangat sembrono, dan gaya bicaranya sangata kaku.
Ayahku juga bukan tipe yang bisa dengan mudah bersosialisasi. Dalam banyak hal,
Ayah adalah kontradiksi dari Ibu. Hingga kini, akupun heran bagaimana dulu Ibu
bisa menyukai pria seperti Ayah.
“Karena Ayahmu pintar…” Begitu jawab Ibu kalau kutanya.
Ya, Ayah memang pintar, tapi kurasa sekarang itu hanya dalam
hal spesifik, dan itupun sekarang sudah luntur hanyut entah kemana.
Hidup adalah serangkaian perpindahan. Dalam setiap
pergerakan, kita harus siap merasa lelah, tersandung, jatuh, terluka, dan
merasa tidak nayaman. Seringkali dalam perpindahan, kita menemukan titik balik,
di mana titik tersebut, bisa menimbulkan guncangan dahsyat yang memuakkan, atau
lambaian dewi cantik di padang rumput. Manusia akan mengalami ha tersebut,
termasuk keluargaku. Titik balik dalam kehidupan keluargaku terjadi setelah
kami pindah dari Surabaya ke Sidoarjo. Saat itu aku baru menapak kelas dua SD.
Kami pindah karena Ayah dan Ibu berhasil membeli sebuah rumah yang benar-benar
milik sendiri di Sukodono. Kamipun
pindah ke sana, dan tiga tahun semenjak kepindahan kami, titik balik tersebut
mulai menunjukkan guncangannya.
Keluargaku terperangkap dalam jerat lintah darat, akibat
suatu hal yang tidak pernah diceritakan sejara jelas padaku. Kebiasaan buruk
Ibu yang senang berbelanja tanpa kendali, menimbulkan beban utang kartu kredit
yang parah, dan berbagai hal lain yang tidak dapat kurangkai satu persatu Karen
akupun tidak memahami situasi yang terjadi. Ekonomi dan ketenangan rumah
kolaps. Ayah dan Ibu masih berusaha mengontrol diri masing-masing agar tidak berubah,
sembari terus mencoba menyelesaikan semua permasalahan yang menumpuk. Kapal
keluarga kami, mulai limbung, tapi tetap bertahan.
Saat aku menginjak kelas 6, keluarga kami pindah ke rumah
lain. Waktu itu, Ibu mengatakan ada rumah yang lebih besar dan dekat dengan
kota serta calon sekolah yang aku inginkan. Namun, saat itu, aku tahu, kita
pindah untuk menghindari teror para penagih hutang yang tidak berhenti
mengganggu kami siang dan malam, tujuh hari dalam semingu. Aku diam, mencoba tidak terjadi apapun.
Mencoba yakin pada Tuhan, seperti yang diajarkan Bu Ulfah, guru agamaku.
Perpindahan kami, tidak menyelesaikan masalah sedikitpun.
Tentu saja, penagih hutang itu tahu keberadaan kami seperi serigala mengendus
mangsa. Kondisi rumah kembali sama seperti biasanya, penuh teror, dan baik Ayah
maupun ibu menjadi paranoid setiap ada seseorang membunyikan bel pintu pagar.
Akupun, di usia yang menginjak 11 tahun, disuruh untuk berbohong menutupi
keberadaan Ibu dan Ayah. Aku tahu itu salah, tapi saat itu, mungkin itu cara
meringankan beban kedua orang tuaku.
Beberapa tahun berjalan, kondisi perekonomian kami semakin
limbung. Aku terus terseret arus, waktu membawaku naik ke tingkat SMP hingga
SMA tanpa aku sadari. Masalah dengan bank dan lintah darat berhasil diselesaikan,
namun dengan tumpukan hutang-hutang baru yang menumpuk. Kapal keluarga semakin
oleng, saat suatu ketika, Ayah dipecat dari perusahaan yang sudah
bertahun=tahun menjadi tempat keluarga kami menggantungkan hidup. Alasannya
Ayah diketahui telah mencederai kepercayaan direktur utama dengan membantu
perusahaan saingan mendapatkan sertifikat tingkat internasional terntendu yang
mendongkrak kualifikasi perusahaan itu sehingga kini perusahaan itu dapat
mengikuti berbagai tender raksasa. Ayah mungkin orang yang paling terguncang
diantara kami semua, aku sadari itu. Namun, perasaan itu kemudian tertutup oleh
bau busuk di balik bukit yang kuketahui di kemudian hari.
Ayah terguncang sangat dalam. Perusahaan-perusahaan yang
mengenalnya tidak bersedia membantu, bahkan perusahaan yang dibantu Ayah dalam
perolehan sertiikatpun juga menolak Ayah dengan berbagai kata-kata halus dan
manis yang bisa kubayangkan sebagai lidah iblis berkepala ular. Selama delapan
bulan Ayah menganggur total. Setiap hari dihabiskannya dengan menonton acara TV
hingga malam dan diakhiri dengan berjalan terseok-seok untuk tidur di kamar
yang terpisah dengan Ibu. Sama sekali tidak bicara. Guncangan besar itu juga
mempengaruhi kesehatan mental dan emosinya. Ayah menjadi pribadi yang mudah
naik pitam. Sifat pendiamnya ditambah raut waahnya yang tidak pernah tersenyum,
kini terasa semakin menjijikkan dengan tempramentalnya. Saat itu, meskipun
belum kusadari, aku telah menanam bibit kebencian pada Ayahku sendiri.
***********
Ayah memukul Ibu. Untuk pertama kalinya dalam 17 tahun
hidupku, aku melihat dua orang yang paling kukenal, terlibat konflik secara
fisik. Tangan Ayah yang seperti tulang, keras dan kasar, menempeleng kepala
Ibu, tepat di pelipis kanannya. Aku tersentak. Saat itu aku baru saja pulang
dari warnet dan masuk tanpa mengucapkan salam. Tangan Ayah, menyakiti Ibu,
namun entah kenapa, sesuatu dalam dadaku yang terasa sangat remuk. Rasanya
seperti ada sebuah bom yang dijatuhkan begiu saja tepat di ulu hatiku. Aku
hancur. Luluh lantak. Terguncang, hingga seluruh tubuhku menolak merespon
komando apapun yang kusampaikan.
Komando? Pada saat seperti itu, memang apa yang aku coba
pikirkan? Otakku mungkin juga sudah lumpuh pada saat itu.
Satu pelajaran moral penting pada hari itu adalah : Luka psikologis
tidak memandang usia. Hanya karena anakmu sudah menginjak usia dewasa, bukan
berarti kau bebas menunjukkan kekerasan fisik di depannya. Kekerasan fisik
antar dua orang yang paling dicintai oleh anak, tetap saja akan menyayat
batinnya. Setua apapun anak itu.
Dan kejadian itu, melukaiku sangat dalam. Begitu dalam,
hingga darahpun tak keluar. Pada saat itu, aku kebencianku pada Ayah meningkat
drastis.
*******
Seiring dengan waktu, kebencianku pada Ayah semakin tinggi.
Sifatnya tidak berubah, bahkan diusiaku yang menginjak 20 tahun. Aku berhasil
diterima di Fakultas Ekonomi di Universitas Negeri ternama. Selama ini, sebagai
kosekuensi dari akumulasi kebencianku padanya, aku tidak pernah mengucap
sepatah katapun padanya, menatap wajahnya, atau bahkan sekedar makan satu meja
dengannya. Saat hari libur, aku memilih berada di taman, atau berada di manapun
yang menjaga jarak antara diriku dengan Ayah. Childish? Benar, mungkin aku sangat tidak dewasa. Namun biarlah.
Kebencian yang tidak pernah disampaikan rasanya jauh lebih dalam dari sekedar
hujatan yang disampaikan. Aku memulai perang dingin dengan Ayah, bahkan sebelum
aku sendiri sempat menyadarinya.
Kondisi rumah perlahan stabil pasca aku lulus SMA. Ayah yang
sudah mendapat tempat kerja baru sejak 6 tahun lalu mulai bisa memenuhi
kewajiban dasarnya sebagai suami. Tempat kerja barunya hanyalah perusahaan
kecil dengan gaji yang tidak sepadan dengan kebutuhan hidup keluarga, oleh
karena itu, Ibu seringkali masih berusaha keras mencari tambahan lain. Sementara
aku, masih bingung dengan apa yang harus aku lakukan.
“ Sebarapa tinggi dosaku?”
Perempuan itu memiringkan kepalanya. Menatapku dengan
matanya yang selalu membuatku gugup. Hitungan beberapa detik, dia mencubit
hidungku,
“ Emangnya aku apa? Malaikat pengukur dosa? Pake tanya hal
gituan…”
Lalya, satu dari sedikit perempuan yang bisa dekat denganku.
Sebenarnya dia adalah adik kelasku di SMA, dan sekarang dia adalah adik
angkatan di kampus. Wajahnya bulat, dengan jilbab warna merah muda yang selalu
menghiasi kepalanya. Mungil namun cerewet.
“Tumben-tumbenan tanya dosa…. Kayak bukan kamu aja….”
Aku menghela. Aku menceritakan permasalahanku tentang Ayah
pada Layla. Dia satu-satunya orang di mana untuk pertama kalinya aku bisa
jujur, tanpa merasa takut.
Hening menggerayangi kami berdua. Senja mulai menua dan
letih. Sama seperti Ayah. Usianya sudah menginjak 55 tahun. Akhir-akhir ini,
dia selalu pulang malam karena ada kerja yang harus diselesaikan. Saat aku
mengintip dari balik pintu kamar, tubuh Ayah tampak semakin ringkih. Kepalanya
telah dipenuhi uban, dan sering terbatuk-batuk. Mungkin kesehatannya telah
dgerus oleh usia dan kerja berat yang tidak sepadan dengan gajinya. Melihat hal
itu, entah kenapa, sesuatu di dadaku kembali mengerang. Aku melihat tangan kanan Ayah, dan hal itu
kembali meluapkan kebencianku. AKu
menutup pintu kamar, dan tidur dengan wajah tertutup bantal.
“ Gak perlu ngomongin dosa kalau soal itu….” Ucapan Layla
mendadak menyeruak semak keheningan. Aku menoleh.
“Kamu bilang ada sesuatu yang aneh saat kamu melihat Ayahmu
yang semakin ringkih, kan…”
Hening.
“ Maka…. Selamat, kamu masih menjadi manusia.” Lanjutnya
dengan tatapan yang tertuju pada bentang Kali Brantas di depan kami. Aku
terdiam, tidak mengerti.
“ Lihat, manusia tidak perlu mempertimbangkan banyak
sedikitnya dosa yang di perbuat jika sesuatu dalam dirinya sudah merasa
bersalah. Manusia hanya perlu mempertimbangkan apakah memang yang diperbuatnya
sudah sesuai dengan yang dia inginkan? Apakah sudah membuat dirinya puas?
Bangga? Tenang? Seseorang tak perlu memasukkan variabel dosa dan pahala untuk
menentukkan baik dan buruk. Kamu kan yang selalu mengajariku hal itu?” Ucap
Layla seraya memalingkan wajahnya padaku. Dia meraih wajahku dan mengelus pipi
kananku. Saat itu, kurasakan sebuah aliran yang sangat hangat merembes ke dalam
tubuhku. Kupandangi wajah mungil itu.
“ Sesuatu seperti norma hadir sebagai kualitas kemanusiaan.
Ia tidak perlu diajari oleh guru agama, atau kyai sekalipun. Ia terbentuk
melalui waktu, dan teruji melalui cobaan hidup. Kamu sudah mengalami banyak hal
berat dalam hidupmu, memendam benci pada Ayah yang telah melukai Ibumu, dan
masih bisa merasakan kasih untuk untuknya. Itu bukti besar bahwa kau telah
berhasil membentuk dirimu dengan segala kualitas kemanusiaan. Kau berbuat
karena kau ingin dan merasa itu yang paling benar.”
Sebuah kanopi melintas di depan kami. Teriakan anak-anak
kecil di taman, dan riuh kendaraan bermotor yang menghiasi aliran kalimat
Layla, entah bagaimana, menjadikannya sebuah tombak yang menghunjam tepat di jantungku.
Kuraih tangan mungil Layla, dan kugenggam erat. Hangat.
Sangat hangat.
Perempuan ini…
“ Terima kasih ya.”
**********
Aku sampai rumah menjelang jam 9 malam. Kuparkir sepeda
motorku, dan kulepas helm. Perlahan aku melangkah masuk rumah. Ayah sedang
menonton TV, kebiasaannya yang paing kubenci, karena seperti perlaku orang
tolol. Sama seperti kebiasaannya saat masih mengganggur dulu. Aku masuk kamar,
menaruh tas, menanggalkan jaket, dan berganti baju. Sejurus kemudian, aku masuk
kamar mandi untuk mencuci muka, aku berusaha mencerna kata-kata Layla. Selepas
mengeringkan diri, aku mengambil sekotak susu coklat dari kulkas. Aku berjalan
pelan menuju ruang keluarga. Kupandangi tubuh kurus Ayah dari belakang.
Kulitnya sudah tidak seputih yang aku ingat, tulang-tulangnya terlihat semakin
menonjol memperlihatkan betapa keras kehidupan yang dia jalani. Rambutnya sudah
hampir habis dan menyisakan uban-uban tipis di tepi-tepi kepala.
“ Lakukan apa yang kamu inginkan dan kamu anggap benar ya…”Aku
bergumam mengulangi perkataan Layla.
Ayah, aku masih membencinya. Tapi sekarang, mungkin sudah
saat melonggarkan sedikit kebencian ini. Aku tumbuh dengan melihatmu, dan aku
bersumpah tidak akan menjadi suami dan laki-laki sepertimu. Aku selalu berpikir
kau adalah contoh yang buruk. Namun, dari dirimu juga rasanya aku belajar
bagaimana menjadi lelaki yang baik. Kau, mungkin telah mengajariku dengan cara
yang berbeda. Menjadi seorang antagonis dalam hidupku. Aku mengerti, dan
rasanya saat ini, aku tahu apa yang mau aku lakukan, dan apa yang menurutku
benar.
“Ayah….” Untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun, aku
memberanikan diri memanggil namanya duluan. Ayah menoleh. Wajahnya yang tua,
dan jelas menujukkan keletihan luar biasa. Aku berusaha memasang senyum, tapi
tidak terlalu lebar, dan tidak terlalu sinis.
“ Lihat film apa?”
Seulas senyum normal, dari anak untuk Ayahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar