Minggu, 01 November 2015

AYAH



Aku tidak pernah bisa dekat dengan ayah. Entah sejak kapan dimulai, tapi kurasa sudah cukup lama aku mendapatkan perasaaan tidak nyaman setiap kali dekat dengan ayah. Saat aku bangun tidur, keluar dari kamar, dan mendapati ayahku di ruang keluarga sedang mononton tv, aku selalu merasa jemu, bahkan sedikit jengah melihat raut wajahnya. Entah kenapa.

Seperti hari ini, Minggu, 31 Oktober, aku terbangun karena silau dan hawa panas yang menyengat. Kesiangan lagi. Aku menatap langit-langit kamarku sejenak. Kupandangi dengan khidmad seakan tergambar lukisan perempuan cantik di sana. Sejurus, sebuah suara yang kukenal terdengar. Suara ayahku.
Ha,,,, ternyata minggu ini juga tidak masuk, desahku. Sudah tiga minggu terakhir ini, ayah tidak lagi berangkat ke kantor setiap sabtu. Proyek tangki sudah selesai dan barang sudah dikirimkan, katanya. Ayah tidak perlu bekerja lembur dan tambahan di hari Sabtu. Padahal aku sudah sangat terbiasa dengan ketidaberadaan ayah. Akhirnya, aku memilih menenggelamkan diri dalam bekapan bantal-guling. Aku benar-benar malas bertatap muka dengannya.

Sebegitu bencikah aku dengan ayahku sendiri? Entahlah. Setelah diingat-ingat lagi, sikapku terhadap ayah mulai berubah semenjak aku tahu kenyataan bahwa ayah hanyalah seorang laki-laki lembek tidak berguna. Kejam? Iya, tentu saja. Hanya anak tak bermoral yang menyebut orang tuanya sendiri tidak berguna. Tapi lebih dari itu, aku tidak bisa menahan pemikiranku ini. Semuanya tampak jelas dan neyata di depanku, betapa tidak bergunanya ayah. Kejadian runtut yang terus menerus pada akhirnya menjelma menjadi alur yang menggiringku serupa kerbau dungu menuju sebuah bukit, dan di balik bukit itu, yang kutemukan hanyalah bangkai-bangkai busuk yang menebar bau dan pemandangan memuakkan.


Ayah adalah seorang lulusan sarjana teknik sipil dari institute negeri ternama di Indonesia. Pada masanyapun, Ayah dikenal sebagai salah stu lulusan yang luar biasa. Begitu lulus, ia langsung diterima sebagai Quality Control Manager di sebuah BUMN besar. Usia muda dan jabatan mapan, kombinasi yang sempurna sebagai seorang pria. Singkat cerita, Ayah berhasil memperistri seorang wanita cantik dari Jember yang telah memiliki karir sukses sebagai sekretaris direksi, wanita itulah calon ibuku. Beberapa tahun awal pernikahan semua berjalan lancar, ibuku adalah seorang wanita dengan karakter luar biasa. Ingatanku hanya bisa membayangkan ibu sebagai sosok wanita pemberani dan rela berkorban demi keluarganya, di samping sifat-sifatnya yang keras kepala. Ayah, cerita ibu, adalah laki-laki lembut, rajin beribadah, dan sangat pintar. Laki-laki sempurna pada masanya. Hanya saja, ayahku bukan tipe yang suka memperhatikan penampilan dan menjaga diri, gayanya sangat sembrono, dan gaya bicaranya sangata kaku. Ayahku juga bukan tipe yang bisa dengan mudah bersosialisasi. Dalam banyak hal, Ayah adalah kontradiksi dari Ibu. Hingga kini, akupun heran bagaimana dulu Ibu bisa menyukai pria seperti Ayah.

“Karena Ayahmu pintar…” Begitu jawab Ibu kalau kutanya.

Ya, Ayah memang pintar, tapi kurasa sekarang itu hanya dalam hal spesifik, dan itupun sekarang sudah luntur hanyut entah kemana.

Hidup adalah serangkaian perpindahan. Dalam setiap pergerakan, kita harus siap merasa lelah, tersandung, jatuh, terluka, dan merasa tidak nayaman. Seringkali dalam perpindahan, kita menemukan titik balik, di mana titik tersebut, bisa menimbulkan guncangan dahsyat yang memuakkan, atau lambaian dewi cantik di padang rumput. Manusia akan mengalami ha tersebut, termasuk keluargaku. Titik balik dalam kehidupan keluargaku terjadi setelah kami pindah dari Surabaya ke Sidoarjo. Saat itu aku baru menapak kelas dua SD. Kami pindah karena Ayah dan Ibu berhasil membeli sebuah rumah yang benar-benar milik  sendiri di Sukodono. Kamipun pindah ke sana, dan tiga tahun semenjak kepindahan kami, titik balik tersebut mulai menunjukkan guncangannya.

Keluargaku terperangkap dalam jerat lintah darat, akibat suatu hal yang tidak pernah diceritakan sejara jelas padaku. Kebiasaan buruk Ibu yang senang berbelanja tanpa kendali, menimbulkan beban utang kartu kredit yang parah, dan berbagai hal lain yang tidak dapat kurangkai satu persatu Karen akupun tidak memahami situasi yang terjadi. Ekonomi dan ketenangan rumah kolaps. Ayah dan Ibu masih berusaha mengontrol diri masing-masing agar tidak berubah, sembari terus mencoba menyelesaikan semua permasalahan yang menumpuk. Kapal keluarga kami, mulai limbung, tapi tetap bertahan.

Saat aku menginjak kelas 6, keluarga kami pindah ke rumah lain. Waktu itu, Ibu mengatakan ada rumah yang lebih besar dan dekat dengan kota serta calon sekolah yang aku inginkan. Namun, saat itu, aku tahu, kita pindah untuk menghindari teror para penagih hutang yang tidak berhenti mengganggu kami siang dan malam, tujuh hari dalam semingu.  Aku diam, mencoba tidak terjadi apapun. Mencoba yakin pada Tuhan, seperti yang diajarkan Bu Ulfah, guru agamaku.

Perpindahan kami, tidak menyelesaikan masalah sedikitpun. Tentu saja, penagih hutang itu tahu keberadaan kami seperi serigala mengendus mangsa. Kondisi rumah kembali sama seperti biasanya, penuh teror, dan baik Ayah maupun ibu menjadi paranoid setiap ada seseorang membunyikan bel pintu pagar. Akupun, di usia yang menginjak 11 tahun, disuruh untuk berbohong menutupi keberadaan Ibu dan Ayah. Aku tahu itu salah, tapi saat itu, mungkin itu cara meringankan beban kedua orang tuaku.

Beberapa tahun berjalan, kondisi perekonomian kami semakin limbung. Aku terus terseret arus, waktu membawaku naik ke tingkat SMP hingga SMA tanpa aku sadari. Masalah dengan bank dan lintah darat berhasil diselesaikan, namun dengan tumpukan hutang-hutang baru yang menumpuk. Kapal keluarga semakin oleng, saat suatu ketika, Ayah dipecat dari perusahaan yang sudah bertahun=tahun menjadi tempat keluarga kami menggantungkan hidup. Alasannya Ayah diketahui telah mencederai kepercayaan direktur utama dengan membantu perusahaan saingan mendapatkan sertifikat tingkat internasional terntendu yang mendongkrak kualifikasi perusahaan itu sehingga kini perusahaan itu dapat mengikuti berbagai tender raksasa. Ayah mungkin orang yang paling terguncang diantara kami semua, aku sadari itu. Namun, perasaan itu kemudian tertutup oleh bau busuk di balik bukit yang kuketahui di kemudian hari.

Ayah terguncang sangat dalam. Perusahaan-perusahaan yang mengenalnya tidak bersedia membantu, bahkan perusahaan yang dibantu Ayah dalam perolehan sertiikatpun juga menolak Ayah dengan berbagai kata-kata halus dan manis yang bisa kubayangkan sebagai lidah iblis berkepala ular. Selama delapan bulan Ayah menganggur total. Setiap hari dihabiskannya dengan menonton acara TV hingga malam dan diakhiri dengan berjalan terseok-seok untuk tidur di kamar yang terpisah dengan Ibu. Sama sekali tidak bicara. Guncangan besar itu juga mempengaruhi kesehatan mental dan emosinya. Ayah menjadi pribadi yang mudah naik pitam. Sifat pendiamnya ditambah raut waahnya yang tidak pernah tersenyum, kini terasa semakin menjijikkan dengan tempramentalnya. Saat itu, meskipun belum kusadari, aku telah menanam bibit kebencian pada Ayahku sendiri.

***********

Ayah memukul Ibu. Untuk pertama kalinya dalam 17 tahun hidupku, aku melihat dua orang yang paling kukenal, terlibat konflik secara fisik. Tangan Ayah yang seperti tulang, keras dan kasar, menempeleng kepala Ibu, tepat di pelipis kanannya. Aku tersentak. Saat itu aku baru saja pulang dari warnet dan masuk tanpa mengucapkan salam. Tangan Ayah, menyakiti Ibu, namun entah kenapa, sesuatu dalam dadaku yang terasa sangat remuk. Rasanya seperti ada sebuah bom yang dijatuhkan begiu saja tepat di ulu hatiku. Aku hancur. Luluh lantak. Terguncang, hingga seluruh tubuhku menolak merespon komando apapun yang kusampaikan.
Komando? Pada saat seperti itu, memang apa yang aku coba pikirkan? Otakku mungkin juga sudah lumpuh pada saat itu.

Satu pelajaran moral penting pada hari itu adalah : Luka psikologis tidak memandang usia. Hanya karena anakmu sudah menginjak usia dewasa, bukan berarti kau bebas menunjukkan kekerasan fisik di depannya. Kekerasan fisik antar dua orang yang paling dicintai oleh anak, tetap saja akan menyayat batinnya. Setua apapun anak itu.

Dan kejadian itu, melukaiku sangat dalam. Begitu dalam, hingga darahpun tak keluar. Pada saat itu, aku kebencianku pada Ayah meningkat drastis.

 *******

Seiring dengan waktu, kebencianku pada Ayah semakin tinggi. Sifatnya tidak berubah, bahkan diusiaku yang menginjak 20 tahun. Aku berhasil diterima di Fakultas Ekonomi di Universitas Negeri ternama. Selama ini, sebagai kosekuensi dari akumulasi kebencianku padanya, aku tidak pernah mengucap sepatah katapun padanya, menatap wajahnya, atau bahkan sekedar makan satu meja dengannya. Saat hari libur, aku memilih berada di taman, atau berada di manapun yang menjaga jarak antara diriku dengan Ayah. Childish? Benar, mungkin aku sangat tidak dewasa. Namun biarlah. Kebencian yang tidak pernah disampaikan rasanya jauh lebih dalam dari sekedar hujatan yang disampaikan. Aku memulai perang dingin dengan Ayah, bahkan sebelum aku sendiri sempat menyadarinya.

Kondisi rumah perlahan stabil pasca aku lulus SMA. Ayah yang sudah mendapat tempat kerja baru sejak 6 tahun lalu mulai bisa memenuhi kewajiban dasarnya sebagai suami. Tempat kerja barunya hanyalah perusahaan kecil dengan gaji yang tidak sepadan dengan kebutuhan hidup keluarga, oleh karena itu, Ibu seringkali masih berusaha keras mencari tambahan lain. Sementara aku, masih bingung dengan apa yang harus aku lakukan.

“ Sebarapa tinggi dosaku?”

Perempuan itu memiringkan kepalanya. Menatapku dengan matanya yang selalu membuatku gugup. Hitungan beberapa detik, dia mencubit hidungku,

“ Emangnya aku apa? Malaikat pengukur dosa? Pake tanya hal gituan…”

Lalya, satu dari sedikit perempuan yang bisa dekat denganku. Sebenarnya dia adalah adik kelasku di SMA, dan sekarang dia adalah adik angkatan di kampus. Wajahnya bulat, dengan jilbab warna merah muda yang selalu menghiasi kepalanya. Mungil namun cerewet.

“Tumben-tumbenan tanya dosa…. Kayak bukan kamu aja….”

Aku menghela. Aku menceritakan permasalahanku tentang Ayah pada Layla. Dia satu-satunya orang di mana untuk pertama kalinya aku bisa jujur, tanpa merasa takut.

Hening menggerayangi kami berdua. Senja mulai menua dan letih. Sama seperti Ayah. Usianya sudah menginjak 55 tahun. Akhir-akhir ini, dia selalu pulang malam karena ada kerja yang harus diselesaikan. Saat aku mengintip dari balik pintu kamar, tubuh Ayah tampak semakin ringkih. Kepalanya telah dipenuhi uban, dan sering terbatuk-batuk. Mungkin kesehatannya telah dgerus oleh usia dan kerja berat yang tidak sepadan dengan gajinya. Melihat hal itu, entah kenapa, sesuatu di dadaku kembali mengerang.  Aku melihat tangan kanan Ayah, dan hal itu kembali meluapkan kebencianku.  AKu menutup pintu kamar, dan tidur dengan wajah tertutup bantal.

“ Gak perlu ngomongin dosa kalau soal itu….” Ucapan Layla mendadak menyeruak semak keheningan. Aku menoleh.

“Kamu bilang ada sesuatu yang aneh saat kamu melihat Ayahmu yang semakin ringkih, kan…”
Hening.

“ Maka…. Selamat, kamu masih menjadi manusia.” Lanjutnya dengan tatapan yang tertuju pada bentang Kali Brantas di depan kami. Aku terdiam, tidak mengerti.

“ Lihat, manusia tidak perlu mempertimbangkan banyak sedikitnya dosa yang di perbuat jika sesuatu dalam dirinya sudah merasa bersalah. Manusia hanya perlu mempertimbangkan apakah memang yang diperbuatnya sudah sesuai dengan yang dia inginkan? Apakah sudah membuat dirinya puas? Bangga? Tenang? Seseorang tak perlu memasukkan variabel dosa dan pahala untuk menentukkan baik dan buruk. Kamu kan yang selalu mengajariku hal itu?” Ucap Layla seraya memalingkan wajahnya padaku. Dia meraih wajahku dan mengelus pipi kananku. Saat itu, kurasakan sebuah aliran yang sangat hangat merembes ke dalam tubuhku. Kupandangi wajah mungil itu.

“ Sesuatu seperti norma hadir sebagai kualitas kemanusiaan. Ia tidak perlu diajari oleh guru agama, atau kyai sekalipun. Ia terbentuk melalui waktu, dan teruji melalui cobaan hidup. Kamu sudah mengalami banyak hal berat dalam hidupmu, memendam benci pada Ayah yang telah melukai Ibumu, dan masih bisa merasakan kasih untuk untuknya. Itu bukti besar bahwa kau telah berhasil membentuk dirimu dengan segala kualitas kemanusiaan. Kau berbuat karena kau ingin dan merasa itu yang paling benar.”

Sebuah kanopi melintas di depan kami. Teriakan anak-anak kecil di taman, dan riuh kendaraan bermotor yang menghiasi aliran kalimat Layla, entah bagaimana, menjadikannya sebuah tombak yang menghunjam tepat di jantungku.

Kuraih tangan mungil Layla, dan kugenggam erat. Hangat. Sangat hangat.
Perempuan ini…

“ Terima kasih ya.”

**********

Aku sampai rumah menjelang jam 9 malam. Kuparkir sepeda motorku, dan kulepas helm. Perlahan aku melangkah masuk rumah. Ayah sedang menonton TV, kebiasaannya yang paing kubenci, karena seperti perlaku orang tolol. Sama seperti kebiasaannya saat masih mengganggur dulu. Aku masuk kamar, menaruh tas, menanggalkan jaket, dan berganti baju. Sejurus kemudian, aku masuk kamar mandi untuk mencuci muka, aku berusaha mencerna kata-kata Layla. Selepas mengeringkan diri, aku mengambil sekotak susu coklat dari kulkas. Aku berjalan pelan menuju ruang keluarga. Kupandangi tubuh kurus Ayah dari belakang. Kulitnya sudah tidak seputih yang aku ingat, tulang-tulangnya terlihat semakin menonjol memperlihatkan betapa keras kehidupan yang dia jalani. Rambutnya sudah hampir habis dan menyisakan uban-uban tipis di tepi-tepi kepala.

“ Lakukan apa yang kamu inginkan dan kamu anggap benar ya…”Aku bergumam mengulangi perkataan Layla.

Ayah, aku masih membencinya. Tapi sekarang, mungkin sudah saat melonggarkan sedikit kebencian ini. Aku tumbuh dengan melihatmu, dan aku bersumpah tidak akan menjadi suami dan laki-laki sepertimu. Aku selalu berpikir kau adalah contoh yang buruk. Namun, dari dirimu juga rasanya aku belajar bagaimana menjadi lelaki yang baik. Kau, mungkin telah mengajariku dengan cara yang berbeda. Menjadi seorang antagonis dalam hidupku. Aku mengerti, dan rasanya saat ini, aku tahu apa yang mau aku lakukan, dan apa yang menurutku benar.

“Ayah….” Untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun, aku memberanikan diri memanggil namanya duluan. Ayah menoleh. Wajahnya yang tua, dan jelas menujukkan keletihan luar biasa. Aku berusaha memasang senyum, tapi tidak terlalu lebar, dan tidak terlalu sinis.

“ Lihat film apa?”

Seulas senyum normal, dari anak untuk Ayahnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar